Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Titik Terendah

[Artikel 60#, kategori Pria Seksi] Mungkin inilah momentum tepat untuk melepaskan. Kebahagiaannya adalah hal penting ketimbang memikirkan perasaan saya yang selalu tidak beruntung. Apalagi kini dia sudah ada pengganti yang lebih baik segalanya dari saya.

Hujan masih menemani di bulan Desember. Itu artinya, kehidupan saya masih juga belum bisa move on.

Pulang futsal kamis malam (3/4), air mata saya masih saja menetes. Entahlah kenapa dengan saya masih memikirkan luka ketika hari ini dia salah mengirim emoticon. Ah dia punya seseorang, pikiran negatif yang terus muncul dari akibat rasa kurang percaya diri karena sekali lagi ditinggalkan.

Rasanya, saya ingin lari esoknya. Berdiam tanpa aktivitas, baik di media sosial maupun kehidupan yang bisa terhubung dengannya. Saya ingin bersembunyi. Mematikan pemberitahuan semua aplikasi.

Saya ingin dia bahagia tanpa memikirkan saya lagi. Toh, alasan terbesar kami soal berbeda agama sudah jadi perpisahan yang tidak mungkin terwujud.

Tapi, ini dampaknya dengan dotsemarang ke depan. Bagaimana saya bisa menghilang ketika semua pengorbanan yang saya lakukan belasan tahun untuk mempertahankan dotsemarang hancur karena saya merasa kalah.

Pendapatan yang saya dapatkan dari kerja keras meski masih receh, setidaknya bisa mengajak dia makan enak, beli Soto kesukaannya, dan beli kuota agar tetap terhubung dengannya.

Bagaimana saya jadi selemah ini?

Perjalanan saya yang masih panjang tidak mengira harus berhadapan dengan realita cinta.

Bukan kehilangan kuota atau laptop yang bakal kembali ke perusahaan yang membuat saya bakal berhenti menulis di blog dotsemarang tahun depan, tapi malah galau cinta yang sekali lagi ditinggalkan.

Di masa depan, cerita ini bakal ditertawakan. Tapi karena kisah ini, andai saya bisa bertahan, mungkin jadi sejarah bahwa saya pernah jatuh ke titik terendah.

Sama seperti tahun 2015 ketika harus tinggal 1 bulan di Samarinda karena mamah sakit. Saat itu saya pikir sudah benar-benar jatuh ke titik terendah. Tidak ada yang peduli meski saya menangis sekalipun.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh