Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Titik Terendah

[Artikel 60#, kategori Pria Seksi] Mungkin inilah momentum tepat untuk melepaskan. Kebahagiaannya adalah hal penting ketimbang memikirkan perasaan saya yang selalu tidak beruntung. Apalagi kini dia sudah ada pengganti yang lebih baik segalanya dari saya.

Hujan masih menemani di bulan Desember. Itu artinya, kehidupan saya masih juga belum bisa move on.

Pulang futsal kamis malam (3/4), air mata saya masih saja menetes. Entahlah kenapa dengan saya masih memikirkan luka ketika hari ini dia salah mengirim emoticon. Ah dia punya seseorang, pikiran negatif yang terus muncul dari akibat rasa kurang percaya diri karena sekali lagi ditinggalkan.

Rasanya, saya ingin lari esoknya. Berdiam tanpa aktivitas, baik di media sosial maupun kehidupan yang bisa terhubung dengannya. Saya ingin bersembunyi. Mematikan pemberitahuan semua aplikasi.

Saya ingin dia bahagia tanpa memikirkan saya lagi. Toh, alasan terbesar kami soal berbeda agama sudah jadi perpisahan yang tidak mungkin terwujud.

Tapi, ini dampaknya dengan dotsemarang ke depan. Bagaimana saya bisa menghilang ketika semua pengorbanan yang saya lakukan belasan tahun untuk mempertahankan dotsemarang hancur karena saya merasa kalah.

Pendapatan yang saya dapatkan dari kerja keras meski masih receh, setidaknya bisa mengajak dia makan enak, beli Soto kesukaannya, dan beli kuota agar tetap terhubung dengannya.

Bagaimana saya jadi selemah ini?

Perjalanan saya yang masih panjang tidak mengira harus berhadapan dengan realita cinta.

Bukan kehilangan kuota atau laptop yang bakal kembali ke perusahaan yang membuat saya bakal berhenti menulis di blog dotsemarang tahun depan, tapi malah galau cinta yang sekali lagi ditinggalkan.

Di masa depan, cerita ini bakal ditertawakan. Tapi karena kisah ini, andai saya bisa bertahan, mungkin jadi sejarah bahwa saya pernah jatuh ke titik terendah.

Sama seperti tahun 2015 ketika harus tinggal 1 bulan di Samarinda karena mamah sakit. Saat itu saya pikir sudah benar-benar jatuh ke titik terendah. Tidak ada yang peduli meski saya menangis sekalipun.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya