Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Hujan Deras, Lanjut Atau Pulang Kembali?

[Artikel 59#, kategori futsal] Sore hari langit masih cerah. Bila dulu selalu menunggu Jumat, sekarang malah Kamis. Saya berharap hari ini bisa futsal tanpa terkendala. Namun beberapa saat setelah setelah pintu dibuka, rintik hujan sudah mendarat ke tanah.

Kamis malam (10/12), cuaca tidak bersahabat kali ini. Dengan semangat yang tlah lama menanti, saya tetap pergi. Jas hujan plastik yang mudah dicari di minimarket tidak lebih 15 ribu sudah menutupi seluruh badan. Kecuali telapak tangan, wajah dan kaki. Aman pokoknya, sekalipun hujan mendadak deras.

Motivasi 

Benar saja, hujan yang tinggal menunggu giliran datang, langsung menghantam badan yang bergerak pelan dengan hanya bersepeda.

Derasnya tidak tanggung-tanggung. Kekhawatiran ponsel jadi basah hampir membuyarkan pikiran. Malam itu, jalanan berlapis cahaya. Sungguh pekat terasa.

Semangat itu mulai memudar karena hujan tak kunjung reda. Perasaan galau mengubah arah ban sepeda untuk segera memutar.

Pergulatan batin jadi beban dalam pikiran. Hujan deras gini, mau lanjut atau pulang? Padahal tinggal jalan dan biarkan terasa penderitaannya. Setidaknya pas sakit setelah pulang futsal, saya punya alasan ke dia untuk membuatnya khawatir.

Setelah berhenti sejenak, menahan diri untuk tidak pulang di pinggir jalan, saya menemukan motivasi. Ini seperti perjalanan cinta yang masih tidak berhenti mengerus hati.

Bagaimana saya bisa melupakan tujuan awal ingin bermain futsal, jika hanya hujan deras saja, saya kalah. Bagaimana saya menjalani hidup sebagai kekasih, bila diberikan cobaan, saya selalu menyerah?

Dibalik hujan deras, ada keraguan yang jelas. Berpikir sebagai manusia normal, tentu saya akan pulang dan menikmati jam tidur malam. 

Sebaliknya, keraguan yang jelas ini adalah mental yang harus saya singkirkan. Selalu ada pelangi setelah hujan di siang hari. 

Akan ada tawa, suka meski berselimut duka ketika berhasil melewati keraguan. Saya benar-benar diajarkan untuk tidak berhenti mengayuh sampai ke lapangan futsal.

Pulang jam 10 malam dengan bersepeda

Sudah beberapa tahun terakhir saya jarang pulang malam di atas jam 9 lebih dengan bersepeda. Kali ini saya merasakannya lagi.

Sudah lelah, tubuh basah dan perasaan gundah gulana. Saya harap bisa sakit sebenarnya, tapi alhamdulillah tetap diberi kesehatan. Dan saya baru tahu tanpa Fatigon, tubuh saya tetap baik pagi harinya. Saya menggantinya dengan Antangin tablet.

Stok dari perjalanan masih ada, dan saya pikir itu bisa.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh