Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Hujan Deras, Lanjut Atau Pulang Kembali?

[Artikel 59#, kategori futsal] Sore hari langit masih cerah. Bila dulu selalu menunggu Jumat, sekarang malah Kamis. Saya berharap hari ini bisa futsal tanpa terkendala. Namun beberapa saat setelah setelah pintu dibuka, rintik hujan sudah mendarat ke tanah.

Kamis malam (10/12), cuaca tidak bersahabat kali ini. Dengan semangat yang tlah lama menanti, saya tetap pergi. Jas hujan plastik yang mudah dicari di minimarket tidak lebih 15 ribu sudah menutupi seluruh badan. Kecuali telapak tangan, wajah dan kaki. Aman pokoknya, sekalipun hujan mendadak deras.

Motivasi 

Benar saja, hujan yang tinggal menunggu giliran datang, langsung menghantam badan yang bergerak pelan dengan hanya bersepeda.

Derasnya tidak tanggung-tanggung. Kekhawatiran ponsel jadi basah hampir membuyarkan pikiran. Malam itu, jalanan berlapis cahaya. Sungguh pekat terasa.

Semangat itu mulai memudar karena hujan tak kunjung reda. Perasaan galau mengubah arah ban sepeda untuk segera memutar.

Pergulatan batin jadi beban dalam pikiran. Hujan deras gini, mau lanjut atau pulang? Padahal tinggal jalan dan biarkan terasa penderitaannya. Setidaknya pas sakit setelah pulang futsal, saya punya alasan ke dia untuk membuatnya khawatir.

Setelah berhenti sejenak, menahan diri untuk tidak pulang di pinggir jalan, saya menemukan motivasi. Ini seperti perjalanan cinta yang masih tidak berhenti mengerus hati.

Bagaimana saya bisa melupakan tujuan awal ingin bermain futsal, jika hanya hujan deras saja, saya kalah. Bagaimana saya menjalani hidup sebagai kekasih, bila diberikan cobaan, saya selalu menyerah?

Dibalik hujan deras, ada keraguan yang jelas. Berpikir sebagai manusia normal, tentu saya akan pulang dan menikmati jam tidur malam. 

Sebaliknya, keraguan yang jelas ini adalah mental yang harus saya singkirkan. Selalu ada pelangi setelah hujan di siang hari. 

Akan ada tawa, suka meski berselimut duka ketika berhasil melewati keraguan. Saya benar-benar diajarkan untuk tidak berhenti mengayuh sampai ke lapangan futsal.

Pulang jam 10 malam dengan bersepeda

Sudah beberapa tahun terakhir saya jarang pulang malam di atas jam 9 lebih dengan bersepeda. Kali ini saya merasakannya lagi.

Sudah lelah, tubuh basah dan perasaan gundah gulana. Saya harap bisa sakit sebenarnya, tapi alhamdulillah tetap diberi kesehatan. Dan saya baru tahu tanpa Fatigon, tubuh saya tetap baik pagi harinya. Saya menggantinya dengan Antangin tablet.

Stok dari perjalanan masih ada, dan saya pikir itu bisa.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya