Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Akhirnya Futsal Juga di Masa Pandemi

[Artikel 55#, kategori futsal] Setelah 6 bulan lebih, akhirnya saya bisa bermain futsal lagi. Ada kegembiraan tersendiri meski dibalut luka saat menerima pesan dari sesama rekan futsal. Saya langsung setuju ketika ajakan itu datang meski hanya beberapa jam lagi sebelum bermain yang dijadwalkan jam 7 malam.

Dia masih bungkam, tak ada tanggapan sama sekali. Seolah chat yang dikirimkan awal bulan adalah keputusan mutlak yang tak boleh digugat. Saya yang belum terima karena ditinggal begitu saja sangat beruntung malam itu sedikit teralihkan kondisinya.

Masih kaku

Saya datang seperti yang dijanjikan dengan sepeda yang biasa digunakan, kamis malam (5/11). Lokasinya sedikit jauh dari biasanya. Dan harinya pun berbeda. Bila sebelum pandemi, saya sering tidur lebih lama setiap Jumat malam, kali ini Kamis malam. 

Membayangkan malam Jumat dan bersepeda malam hari di atas jam 9 ? Ternyata menyeramkan juga, apalagi lokasi tempat futsal dan jalan besar, sedikit gelap. Saya coba buang pikiran negatif tersebut meski mulut sering nyebut (baca doa).

Teman yang mengajak saya, datang juga akhirnya. Saya sempat bingung meski datang ke tempat futsal ini bukan kali ini saja. 

Beberapa orang juga mulai berdatangan. Teman saya menyuruh saya pemanasan, karena ia tahu bahwa saya tidak pernah bermain futsal lagi sejak bulan April.

Saya sudah melakukan semuanya seperti biasanya. Keringat terus mengucur permukaan kulit leher hingga wajah. Entah apakah itu jadi petanda bahwa saya jarang berolahraga? Padahal hampir setiap hari, tubuh saya diajak bergerak. Meski hanya dengan bersepda.

Bola sudah ditaruh di tengah lapangan. Jumlah orangnya kali ini lebih banyak dari jumlah biasanya kami bermain. Totalnya ada 6 pemain masing-masing tim.

Tubuh mulai mengikuti irama, bergerak ke sana kemari. Saya tahu bahwa tidak mudah melalui futsal kali ini. Apalagi banyak wajah yang tidak dikenal. Beberapa orang memang ada yang kenal.

Evaluasi saya setelah akhirnya berganti tim adalah tubuh saya benar-benar terasa tidak lelah. Hanya saja semuanya tidak sesuai harapan. Tubuh saya masih kaku sekali.

Berkali-kali operan mudah diambil pihak lawan. Visi bermain saya tidak dapat menjangkau sesama pemain karena kaki yang seharusnya mengikuti tubuh atas, tidak dapat menyelesaikan. Bahkan yang termudah sekalipun.

...

Seharusnya ketika pulang dan sampai di rumah, dia bakal mengomel seperti biasanya. Sayangnya, itu tidak ada lagi. Saya rindu omelannya meski tahu terkadang ia memaksakan.

Saya menyukai futsal dan berharap setiap Minggu bisa bermain rutin. Tidak ada gratis untuk bergabung. Tidak masalah untuk iuran setiap Minggu.

Futsal benar-benar menyenangkan meski keringat jadi tantangan. Oh ya, hujan yang mewarnai kedatangan sampai kelapangan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun