Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Mengikhlaskan

[Artikel 53#, kategori Cinta] Satu bulan sudah hubungan kami setelah putus masih tidak mendapatkan titik temu. Keputusannya sulit diubah. Pilihannya menderita sekarang seolah ia menjadi tokoh jahat seperti di film-film. Mungkin saya benar-benar harus mengikhlaskannya sekarang. 

Hari ini (28/11), tepat satu bulan dan saya masih mencari makna tentang hubungan kami yang tak dapat saya cerna dengan baik. Saya terkejut ketika akun facebook-nya juga ikut dibuat tanpa gambar. Seburuk itukah saya di matanya, atau memang saya seperti sampah (pecundang).

Ikhlas

Saya membuka foto-fotonya di sana. Betapa manisnya saat ia tersenyum tanpa beban. Terutama masa Sekolah dan kuliahnya yang membuatnya terlihat begitu bergairah ala anak muda yang menganggap pertemanan adalah segalanya.

Wajah manis dengan senyum lebar itu kini tak pernah saya dapatkan lagi. Meski ia tetap tersenyum saat membagikannya di media sosial setelah kami putus, namun saat terhubung dengan saya, ia benar-benar menunjukkan bahwa saya sudah tidak diperlukan sebagai prianya.

Saya terus menelusuri senyum manis di album facebooknya. Semakin banyak yang saya lihat, semakin berdosa rasanya apa yang telah saya perbuat hari ini. 

Mungkin sudah seharusnya saya melepaskannya. Tidak mengganggu kehidupannya. Tidak bertanya untuk memberi perhatian kepadanya sambil ngarep balikan.

Saya jadi ingat film India yang judulnya Jalebi. Bagaimana cinta yang akhirnya sudah berada dalam satu ikatan tetap berakhir. Padahal cerita mereka sangat indah. Akhirnya, salah satu pihak tidak menerima sikap yang merasa ditinggalkan begitu saja.

Ketika kita benar-benar mencintai seseorang, kita merasa seolah dikhianati saat hubungan telah berakhir. Bahkan beberapa tahun waktu yang terus berjalan, rasa benci dan rindu yang menjadi satu membuat hidup kita seperti dalam balutan amarah. 

Mungkin sudah saatnya kita melepaskannya dan membuka harapan baru pada orang yang berasal dari masa depan. Sudahi saja konflik batin yang terjadi dan biarkan mati di dalam hati yang lain.

...

Saya harap, bulan Desember dapat saya lewati dengan lebih baik lagi. Meski saya tahu itu tidak mudah karena perjalanan kisahnya selalu sama. 

Dan maafkan saya, sayang, 
Perjuanganku harus diakhiri sampai di sini sekarang, meski tidak memberi dampak besar.
Kebahagiaanmu adalah hal penting. Khususnya senyumanmu yang hilang tiap aku datang.
Hubungan kita sudah tidak bisa dipaksakan ketika salah satu memang sudah menyerah.
Berbahagialah!

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya