Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s...

Nulis Pagi Buta di Balkondes Sakapitu

[Artikel 14#, kategori Dibalik Layar] Hari ketiga kegiatan Jateng On The Spot 2020, seperti biasa saya bangun pagi buta atau dini hari. Jam masih menunjukkan pukul 01.30 wib. Karena situasinya tidak mendukung meski bukan menginap di rumah warga, tetap saja ada perasaan tidak enak untuk beraktivitas di penginapan yang berisi rekan-rekan wartawan dalam satu ruangan.

Yang saya suka dari homestay di Balkondes Sakapitu adalah desain rumahnya yang unik. Dalam satu rumah, bisa ditempati lebih dari 5 orang. Karena ada 2 ruangan, satu bawah dan atas, saya dapatnya bagian atas.

Fasilitas minim colokan kamar atas

Meski menarik dari sisi tampilan dan bagaimana desain tempat ini diperuntukkan orang banyak, saya selalu khawatir tentang penempatn colokan listrik. Apakah cukup banyak, atau malah sebaliknya?

Dan benar saja, untuk ruangan atas yang hanya ada satu tempat tidur (karena ada rekan lainnya, jadi dipakai 2 orang), colokan listriknya hanya ada satu. Dan itu pun berada di dekat meja. Bagian itu dekat dengan rekan wartawan. Saya tidak ingin mengganggu jam istirahatnya karena aktivitas saya setiap pagi buta.

Menuju Aula

Sejak sore sebenarnya saya sudah memperhatikan setelah mandi. Sepertinya saya akan bekerja di luar rumah ini. Dan setelah kegiatan dari Rumah Bahasa malam harinya, saya langsung beristirahat. Meninggalkan obrolan bersama rekan-rekan lainnya yang kebanyakan berasal dari Semarang.

Alarm yang saya pasang jam setengah 2 masih belum berbunyi. Mata saya lebih dulu bangun malah. Setelah akhirnya salat malam, saya langsung menuju aula yang lokasinya berada kurang lebih 20 meter dari penginapan.

Suasananya ternyata ramai meski beberapa orang sedang tidur di lantai. Bunyi televisi begitu terdengar saat kaki saya melangkah dengan pakaian lebih tebal. Jam setengah 2 masih dingin tentunya.

Meja kayu yang berada di sana akhirnya menjadi tempat saya beraktivitas seperti biasanya saat di rumah. Colokan pun berlimpah. Saya bisa mengisi banyak gadget di sana.

Dan syukurlah, ada WiFi di aula yang terbilang mumpuni untuk dipakai. Tapi tetap saja, terkadang mati hidup dan membuat saya harus gunakan hotspot sendiri.

...

Akhirnya saya berhenti ketika suara di masjid mulai akan mengumandangkan azan. Jujur, menulis di aula dengan fasilitas yang termasuk lengkap bukan berarti mudah. Saya sulit konsentrasi ternyata.

Suasananya tidak mendukung meski gelap malam kaya dengan cahaya kerlap-kerlip yang terlihat dari tiang-tiang di depan tempat saya duduk.

Yasudahlah, akhirnya saya kembali masuk dan langsung mandi pagi seperti biasa sekitar jam 4 pagi. Salat terus tidak tidur lagi. 

Dampaknya, saya lebih banyak diam saat perjalanan menuju pulang ke Semarang dan beberapa tempat yang dikunjungi. Tenaga sudah terkuras habis dan mata saya benar-benar mengantuk.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Perjalanan Pulang Pergi ke Hotel The Wujil Resort & Conventions

Review Film Tum Bin 2 (2016)