Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Teman Bicara

[Artikel 6#, kategori pria 35 tahun] Apa kabar saya hari ini sebagai pria yang tahun ini kembali berganti umur? Tidak terasa, sudah harus bersiap merelakan pergi masa pria 35 tahun. Bagaimana, udah nemu seseorang yang bisa diajak sebagai teman bicara? Khususnya wanita?

Saya bersyukur keadaan saya baik-baik saja dan masih diberikan kesehatan yang luar biasa. Saya harap begitu untuk diri saya di masa depan saat kembali membuka halaman ini.

Seberapa baik pria?

Dia datang tidak sengaja dan bukan orang baru kenal. Kami pernah bertemu, tapi hanya sekedar bertegur sapa. Karena kami kembali dipertemukan, saya pikir sedikit berkorban untuknya. 

Saya kembali menjadi pria baik, mengeluarkan rupiah yang biasanya saya simpan untuk masa depan. Wajar ketika membangun hubungan melakukan banyak hal dan semua itu agar menjaga hubungan tetap terjalin.

Hanya saja, saya tidak begitu baik kala kembali dilukai. Saya tidak ingin bucin seperti yang sudah-sudah. Yang pasti, saya tidak suka saat menaruh rasa percaya begitu besar, malah dihancurkan begitu saja.

Teman bicara

Menjadi pria di umur 30-an yang belum menikah dan sedang berjuang memang menyedihkan. Kesepian seolah menjadi teman akrab. Kesendirian dianggap kelebihan dan berharap dalam doa semacam kesempatan.

Meski kesunyian adalah kemewahan, tanpa ada orang yang bisa diajak bicara rasanya tetap saja tidak bermakna. Ada yang hilang dari pikiran.

Dia datang menawarkan tawa dan telinga untuk mendengar keluh kesah, sambil juga mendengar kisah dari masa lalu. Saya menyukai momen ini dan saya sadari itu adalah bermakna.

Seolah ada kekuatan yang mendorong saya untuk lebih berusaha. Memberi harapan dan pertimbangan kala hal-hal yang biasanya diputuskan sendiri. Teman bicara, saya sangat bahagia.

Saya sadar, selama ini tak banyak orang yang mau menjadi teman bicara saya. Meski ada pun, saya akan berusaha mencari lawan jenis. Entah kenapa, ada perasaan berbeda jika harus sesama pria.

Meski saya hanya bisa menawarkan ruang megah dengan rasa VIP, tidak mudah mencari teman bicara.  Kehadirannya meski sesaat sudah memberi saya udara segar yang selama ini hanya tinggal di ruang gelap.

...

Saya tidak tahu apakah di luar sana orang yang bernasib sama dengan saya juga perlu teman bicara. Jika minta rekomendasi, ya kamu butuh teman bicara. Siapa pun dia.

Setegar apapun kita, sekuat apapun, kita tetap butuh seseorang yang mendengarkan. Tidak perlu mengerti seberapa dalam kita tenggelam dalam kegelapan. Kita, saya, hanya perlu kamu duduk di depan atau samping kami. 

Ya, seburuk itu kami hari ini. Tidak apa-apa, toh kami punya masa lalu yang lebih baik meski sekarang harus berjibaku dalam sunyi. 

Artikel terkait :


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh