Postingan ini merupakan postingan lanjutan dari sebelumnya. Anda yang belum membaca sebelumnya, silahkan klik
di sini. Masih tentang generasi millenials dan karakternya.
6. Menjadi Enterpreneur tanpa persiapanan
Gaji tinggi dan menjadi karyawan di perusahaan yang mentereng, tidak lagi menjadi daya tarik generasi millenials. Sebab kemudahan, terutama di dunia digital, dan dijejali dengan cerita-cerita sukses para startup, menjadikan generasi ini lebih tertarik menjadi enterpreneur.
Sayangnya, menurut Ivan, obsesi menjadi enterpreneur ini kadang dilakukan tanpa persiapan, yang pada akhirnya berakhir dengan kegagalan. "Generasi Millenials hanya bersemangat di awal. Mereka juga sudah punya karakter hard working, tetapi how to-nya tidak dipikirkan.
Padahal, sudah ada kemudahan di era digital dalam mencari tahu how to. Selain itu, kemampuan pendukung atau skill-nya kurang. Kemasalan itulah yang menghambat kesuksesan mereka," kata Ivan.
Sementara menurut Anton, menjadi enterpreneur saat ini memang lebih mudah, karna bisa berpromosi tanpa keluar banyak biaya. Cukup melalui media sosial. "Namun, data menunjukkan bahwa 90% startup gagal.
Hal itu karena mereka hanya membayangkan hasil akhir, dan melupakan proses. Contohnya, semua orang melihat Google yang sukses, tetapi jatuh bangunnya Google tidak dilihat," ujar Anton.
7. Mengutamakan fasilitas dan Apresiasi di dunia kerja
Generasi Millenials lebih memilih fasilitas dan diapresiasi dan tidak menempatkan gaji besar sebagai poin yang utama. Anton mencontohkan, karyawan generasi millenials ingin suasana kantor yang tidak terlalu serius, menyerupai play ground laiknya kantor Google.
Mereka juga menginginkan diperlakukan berbeda, misalnya dengan memberikan apresiasi berupa tiket perjalanan bisnis ke luar negeri yang limited - alias hanya ia sendiri yang memperolehnya.
8. Rise of the experiential
Bagi generasi sebelum millenials, kesuksesan seseorang amat dilihat dari keberhasilan mereka dalam memiliki hal-hal berbau materi. Indikator kesuksesan pada generasi sebelum millenials dinilai dari banyak materi yang mereka miliki.
Namun hal ini telah berubah pada generasi millenials. Kesuksesan mereka dinilai dari seberapa banyak pengalaman hidup mereka. Semakin banyak mereka melakukan kegiatan-kegiatan unik maka mereka merasa dirinya semakin sukses pula.
Maka dari itu, kini mereka semakin menghargai pengalaman-pengalaman dibandingkan sekedar material baik itu berupa duit maupun benda. Hal ini pula yang harusnya dimanfaatkan oleh pengiklan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Evenbrite pada 2014, ada beberapa fakta unik yang memperkuat argumen bahwa millenials amat menghargai pengalaman. Sebesar 78% dari generasi millenials mengeluarkan uang untuk membeli pengalaman baru dibandingkan untuk membeli benda-benda yang mereka inginkan.
Sebesar 82% dari mereka mengikuti berbagai pengalaman langsung dalam setahun baik itu lomba, konser, dan sebagainya. Dan sebesar 72% dari mereka ingin meningkatkan pengeluaran mereka untuk pengalaman langsung, dibandingkan untuk membeli barang fisik.
Pengalaman akan membentuk identitas diri mereka dan menghasilkan memori yang tidak mudah dilupakan dalam hidup mereka. Faktanya, sekitar 77% dari responden generasi millenials menyebutkan bahwa memori terbaik mereka terjadi dari pengalaman langsung yang mereka terlibat di dalamnya.
Dan juga sebesar 69% dari mereka percaya bahwa mengikuti acara langsung akan membuat mereka lebih terhubung dengan orang lain, komunitas-komunitas, dan juga dunia.
Singkatnya, generasi millenials ingin menjadi seseorang yang berguna dan berpengaruh, mereka ingin didengar oleh banyak orang dan pada akhirnya ingin dijadikan sebagai role model yang selalu jadi panutan bagi lingkungan sekitar.
Dalam melihat generasi ini, pemasar harus berhenti melihat dari "vertical silos" karena mereka tidak membutuhkan kesuksesan yang dilihat secara vertikal.
9 Radical Transparency
Generasi Millenials amat mengapresiasi otentisitas dari suatu produk atau bahkan suatu iklan. Mereka membutuhkan transparansi akan semua hal yang terjadi di sekitarnya.
Generasi ini cenderung berbagi segala momen kehidupannya melalui media sosial, namun konten yang mereka suka adalah konten yang life time dan otentik.
Gerakan-gerakan yang terkini dan otentik tadi bisa menghasilkan word of mount (WOM) yang amat viral di dunia maya. Dengan begitu, brand harus berhati-hati dalam bertindak, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.
Dari sifat tersebut, kini tercipta istilah The Web Esteem, yakni istilah yang merujuk pada kepercayaan diri seseorang di dunia digital. Semakin otentik, jujur dan unik konten yang mereka abadikan di media sosial, maka semakin tinggi pula kepercayaan diri mereka di dunia digital.
Kepercayaan ini bisa meningkat apabila engagement dengan followers-nya meningkat pula. Semakin unik konten, maka jumlah orang yang menyukai (memberi love, like, comment, dan sebagainya) hal tersebut yang menjadi indikator untuk kepercayaan diri dunia digital alias web esteem seseorang.
Untuk membuat konten yang viral, kini terdapat berbagai saluran yang dapat dimanfaatkan, khususnya jika terkait dengan media sosial. Mulai dari Facebook, Twitter, Path, Instagram, Ask.FM, Snapchat, dan lain-lain.
Lihat saja Raditya Dika yang memiliki pengikut sejumlah lebih dari 8 juta orang di Twitter dan Ernanda Putra dengan 536 ribu pengikutnya di Instagram.
Dengan gaya posting yang otentik, maka bukan tidak mungkin kalian memiliki ribuan hingga pengikut di media sosial. Kaitannya dengan dunia periklanan adalah, setiap konten yang diciptakan harus selalu otentik, baik itu hal yang baik maupun buruk.
Jika perusahaan kalian melakukan kesalahan yang fatal, maka jujurlah dengan secepatnya. Buat rilis resmi yang bisa mencegah kemarahan publik. Generasi millenials lebih mengapresiasi brand yang dengan cepat mengakui kesalahannya daripada brand yang justru menutup-nutupi kesalahan yang mereka buat.
Sekali saja nama brand buruk, maka loyalitas dari generasi millenials akan dengan mudah hilang. Tidak masalah apakah kontennya baik atau buruk, yang penting konten tersebut otentik dan dikemas dengan menarik, maka generasi millenials pasti akan sangat menyukainya.
10. Fear of missing out (Fomo)
Generasi Millenials takut tertinggal informasi tentang peristiwa-peristiwa menarik di sekitarnya. Mereka amat sering mengecek perangkat selulernya, hanya untuk mengathui aktivitas apa yang sedang dilakukan oleh teman-teman mereka, dengan membuka Twitter, Instagram, Path, Facebook, hingga Foursquare, semuanya dilakukan generasi millenials untuk memamtau aktivitas yang dilakukan oleh teman-teman mereka.
Ketakukan yang mereka rasakan adalah ketakutan jika kelompok bermain mereka pergi ke suatu acara maupun tempat, namun tidak mengajak mereka ke acara tersebut.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari sebuah riset yang mengatakan bahwa 83% dari generasi millenials tidur dengan perangkat seluler berada tepat disamping mereka.
Tidak jarang bahkan mereka tertidur ketika masih menggenggam pengakat seluler mereka. Hal ini terjadi karena mereka tidak ingin tertinggal oleh lingkungan mereka.
Dari sifat ini, sebuah brand seharusnya bisa memanfaatkan ketakutan generasi millenials. Caranya adalah dengan membuat acara-acara langsung (live event) yang unik sehingga tercipta efek viral pada generasi ini, alhasil juka anggota dari kelompok bermain mereka telah datang ke acara tersebut, maka mereka pun cenderung tidak mau tertinggal untuk turut berpartisipasi pada acara yang sama.
Selalu ciptakan sebuah acara yang justru meningkatkan tingkat kecemasan akan ditinggal tadi, namun bantu pula mereka agar mereka bisa mengikuti acara tersebut dan menghilangkan kecemasan yang mereka rasakan.
Komentar
Posting Komentar