Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Pulang Pagi


Akhir pekan, Semarang benar-benar bertabur acara. Buat saya ini dilema. Disatu sisi antara memilih untuk dikunjungi dan satu sisi lagi, lebih baik tidak. Lebih asyik di rumah weekend gini sambil memikirkan bagaimana memanajemen waktu saat puasa besok.

Sabtu pagi, kamar yang biasanya ramai suara televisi tidak terdengar seperti biasanya. Kemana penghuninya? Apakah belum pulang dari semalam? Pertanyaan yang seolah sudah hal biasa bagi saya.

Pikiran liar saya pernah dulunya membayangkan acara televisi soal azab. Saat manusia terkena azab seperti musibah atau penyakit, manusia tersebut bisa sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Namun seiring waktu, bahkan acara televisi tersebut yang sudah tidak ada lagi, pikiran saya sudah terbiasa dengan keadaan yang terjadi disekitar saya. Anggap saya lingkaran kehidupan layaknya sarapan itu ya pagi hari.

Apa alasan sebenarnya?

Pria ini akhirnya sudah di kamar saat setelah saya pulang dari bersepeda. Saya menyempatkan bersenda gurau dengan sesekali bersilat lidah mencari apa yang sebenarnya menjadi alasan pulang pagi.

Katanya langit malam membuat perasaannya tidak tenang bila harus pulang meski suara azan berkumandang. Alternatifnya adalah saat hari mulai terang meski matahari belum terbit.

Rasa takut terhadap sesuatu yang tak kasat mata memang menjadi persoalan bagi pria ini. Namun disisi lain, perasaan orang-orang disekitar juga kadang ia harus perhatikan. Karna khawatir itu merupakan sifat manusia yang sangat normal.

...

Namanya juga manusia yang diberi perasaan sehingga selalu berprasangka. Kadang prasangka baik kadang sebaliknya. Ketika umur sudah berkurang, seharusnya manusianya semakin sadar. Hidup ini adalah semu, tidak ada yang kekal abadi.

Menjadi dewasa memang sangat diharapkan semua orang. Terkadang dewasa juga merugikan. Kekhawatiran berlebihan adalah contohnya. Selamat pagi Semarang. Hari ini saya berharap semua baik-baik saja hingga tulisan ini terbaca beberapa tahun kedepan.

Dan tahun depan, saya ingin melihat perbedaannya. Apakah berubah itu hal sulit atau memang sudah kebiasaan yang bakalan dihabiskan hingga sisa umur.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh