Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Anak Laki-laki dan Ayahnya Dalam Lapangan Futsal


[Artikel 22#, kategori futsal] Ajak anak laki-lakimu bila kamu sedang berkegiatan. Apakah itu futsal atau lainnya. Memupuk anak-anak untuk menyukai sesuatu dari sejak dini bisa dilakukan dengan memperkenalkannya. Apakah masa depannya di sana atau tidak, terserah padanya kelak.

Pekan kedua bulan desember, atau hari Jumat, tanggal 14/12/2018. Sebuah pemandangan hangat diujung sana saat setelah saya tiba di tempat futsal, benar-benar membuat saya kagum pada kedua orang tersebut. Mereka sedang melakukan pemanasan. Si Ayah berlari-lari kecil, diikuti putranya. 

Mungkin salah satu alasan saya kelak bila menikah dan memiliki anak akan melakukan hal tersebut. Menyenangkan berada di momen seperti mereka. Melihat perkembangan masa depan yang tidak dapat diraih, untuk dititipkan pada si anak. Bila akhirnya si anak menyukai dan memahami perasaan si ayah tentang impiannya.

Hidup di era sekarang sangat beruntung rasanya. Bayangan masa lalu saya yang kembali datang saat duduk menunggu rekan-rekan yang telat karena hari ini hujan dan jalanan macet. Saya tak pernah memiliki momen kebersamaan itu, saya sangat iri pada si jagoan kecil tersebut.

Saat bayangan itu menenggelamkan suasana sepi meski suasana sangat ramai, beberapa rekan datang juga akhirnya. Sepertinya mudah ditebak, hari ini mainnya agak lambat. Saya yang sudah sangat antusias main, sudah memasang sepatu.

Sambil duduk menunggu dan sedikit mengobrol bersama rekan-rekan, saya membayangkan menjadi si Ayah. Sini nak, begini seharusnya. Lakukan dengan gembira dan anggap ini adalah permainan.

Lihat anak saya, mungkin dalam hati sambil berlari memandang rekan-rekan futsal yang juga sedang pemanasan. Betapa bangganya saya hari itu menjadi ayah buat anak saya. Masa depannya saya pikir akan cerah dan saya harus berusaha lebih giat lagi untuk membawanya dan mengenalkan apa arti olahraga sebenarnya.

Tatapan saya berhenti ke arah mereka yang akhirnya bermain. Si anak tidak mengikuti pertandingan karena jatahnya memang bukan untuknya. Para pemain teman Ayahnya sama semua umur dan tingginya. Si anak hanya berada di luar lapangan dengan bola plastik. 

Saya yang sedikit mendekat sambil menunggu semua pemain lengkap, hanya berharap bahwa si anak tetap semangat. Teruslah menendang dan teruslah tersenyum. Ayah akan datang dan bermain kembali denganmu.

...

Pukul 8 malam akhirnya kami bermain. Satu jam lebih dari jam biasanya jadwal kami bermain. Padahal biasanya kami main dari jam 7 dan selesai jam 9. Cuma satu jam, tapi tidak masalah. Apalagi rekan-rekan futsal saya tetap datang meski waktunya sudah tidak bersahabat.

Merenung menjadi seorang Ayah, saya pengen sekali menikah pastinya. Tidak mungkin bisa seperti Ronaldo yang belum menikah sudah memiliki anak. Kecuali saya memiliki garis hidup seperti dia.

Buat Ayah-ayah muda yang sudah memiliki anak laki-laki di usia yang bisa diajak bermain dan berolahraga, ajaklah anak kalian. Sungguh itu membuat saya terkagum-kagum dengan Anda dan hormat sedalam-dalamnya. 

Masa anak-anak saya tidak pernah merasakan seperti itu. Mungkin ini hanya perasaan balas dendam mendalam yang saya rasakan dulu. Menjadi Ayah hebat adalah impian bagi anak-anak.

*Akhirnya kami bermain hanya 1 jam saja

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh