[Artikel 32#, kategori Cinta] Ketika kamu mencintai seseorang, kamu tidak peduli dengan waktu yang begitu lama. Menunggunya pulang adalah hal terindah, dengan harapan dapat memberikan pelukan. Saya iri pada pasangan itu.
Yang tiba-tiba saling marah-marahan namun kemudian kejar-kejaran dengan berlari kecil. Si perempuan juga baru keluar dari pintu bandara dan si pria menantinya. Pengen melakukan hal seperti mereka.
Oh ya, saya sedang berada di bandara. Pacar saya pulang dari kota yang sering saya kunjungi beberapa tahun belakangan. Suasana bandara cukup ramai dan saya suka berada di sini.
Sebagai pasangan, saya terus mencoba menjadi yang terbaik. Salah satunya menjemputnya dan akan memberi kejutan. Meski itu juga sebuah permintaan sebenarnya yang lama diinginkan.
Namun sebagai calon suami, saya sangat jauh dari kriteria itu. Mana ada pria yang menjemput pasangannya datang dengan naik bus Trans dan pulang malah naik bus Trans lagi.
Bila bicara romantis, saya lupa bahwa saya sempat mabuk perjalanan. Padahal sudah sering kali naik bus dan baru kali ini. Gara-gara kejadian ini, saya setiap naik bus sekarang harus minum obat anti mabuk.
Menunggu
Di dalam bandara rupanya akan digelar sebuah acara peresmian. Duh lupa, pasti nanti akan banyak rekan-rekan media yang wajahnya familiar. Saya masih tidak ingin mengatakan bahwa saya menjemput pasangan saya bila ketemu mereka.
Hubungan ini masih saya rahasikan karena baru seumur jagung. Saya tidak ingn membual dan tahu-tahu sudah dibuang alias putus hubungan.
Saya ingin belajar menjadi pria yang punya percaya diri saat sudah berani mengenalkan kepada banyak orang. Dan si pasangan juga tidak ingin hubungan kami terlalu diumbar.
Menit demi menit berlalu, dan ini hampir 2 jam menunggu. Orang-orang hilir mudik di depan saya. Ada yang menunggu dan ada yang baru keluar dari pintu kedatangan.
Saya mengobrol dengan teman sebangku. Eh bukan teman, tapi seseorang yang sudah berumur. Seorang supir pribadi dan sudah sering menjemput pimpinannya di sini.
Kami bercerita banyak, bahkan sampai menyinggung pilpres. Saya sebenarnya tidak ingin terlalu terbuka. Tapi hati saya selalu menolak. Terjadilah obrolan yang akhirnya sebuah pesan singkat masuk ke hape saya. Ya, dia sudah sampai.
Menikmati cokelat berdua
Saya menunggu lebih dekat dengan pintu kedatangan. Banyak orang disekitar saya melakukannya juga. Pasangan yang diawal saya ceritakan juga sudah bertemu. Dan dia, wanita cantik yang saya sukai juga sudah keluar.
Jangan berharap adegan kisah romantis yang ada dibenakmu terpikirkan saat kami bertemu. Adegan pelukan, pegangan tangan, semua itu tidak terjadi.
Yang ada, ia memakai masker dan berjalan sangat tenang layaknya seorang putri Kerajaan yang menunggu jemputan pengawalnya. Dan begitulah jadinya, saya hanya bisa berjalan disampingnya tanpa dapat melepaskan kerinduan.
Setelah mengurus beberapa urusan kecil, kami mencari tempat duduk sebelum pergi ke Halte Trans Semarang. Wangi tubuhnya adalah hal baik yang membuat saya selalu menyukai dirinya saat berdua.
Saya mengeluarkan cokelat yang saya bawa. Saya tahu itu bukan sebuah kejutan besar, tapi kami mengakui bahwa kami memang terbantu memakan cokelat tersebut. Kami benar-benar lapar. Belum makan siang soalnya.
Dunia saat itu seolah hanya milik kami berdua. Lalu lalang kendaraan dan orang-orang lewat hanya angin lalu. Saya menyukainya. Meski dengan sedikit bercanda bahwa jerawat yang muncul membuatnya tidak menarik lagi.
Ia tersenyum kecut dengan ancaman-ancaman manja yang membuat saya semakin bergairah dan bangga memilikinya.
Sebenarnya ia datang bersama temannya, tapi ia mengerti bahwa saya menunggunya. Pikiran saya mengatakan bahwa ia tidak ingin hubungannya diketahui dulu. Saya mengerti perasaannya.
Sebelum memutuskan benar-benar pergi dari bandara, kami mencari tempat untuk salat. Masjid di Bandara rupanya belum sepenuhnya selesai dikerjakan. Terpaksa mencari tempat lain seperti orang tolol.
Haha..saya lupa jika di halte ada tempat untuk salat. Kami benar-benar tolol waktu itu, dari ujung ke ujung jalan sambil membawa koper.
Ia benar-benar taat beribadah, saya sampai berpikir bahwa ini begitu sempurna sebagai wanita dan ia adalah pasangan saya. Apakah saya mampu mengatasi rasa minder bila suatu saat ia menuntut hal yang lebih dari saya?
Setidaknya saat ini saat saya duduk tidak ikut salat sambil menjaga kopernya, saya menghilangkan pikiran itu sejenak. Kami baru beberapa bulan. Saya harus menjadi pria kuat untuknya.
Akhirnya kami pulang juga dengan naik bus. Ini adalah kesekian kalinya naik bus dengannya. Tidak ada kesan romantis seperti di film Korea, karena di dalam bus, penumpang pria dan wanita dibedakan tempat duduknya.
Tidak terasa, sudah sore. Langit Semarang hari itu sangat cerah. Mabuk perjalanan yang sudah diatasi sudah tidak terasa lagi. Saya sangat bahagia menjadi prianya hari ini yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih, sayang.
Gambar : Ilustrasi
...
Saya harus menjadi pria baik kedepannya. Baik dari sisi finansial, baik dari sisi keluarga dan baik dari sisi penghasilan. Saya berharap itu terjadi, karena saya ingin mempertahankannya.
Mana ada pria baik yang menjemput pasangannya dengan naik bus. Saya memalukan sebagai pria di sini.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar