Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Iri Dengan Bakat Anak-anak Sekarang


[Artikel 36#, kategori futsal] Mendadak saya iri dengan anak-anak yang datang bersama Ayahnya di tempat saya biasa bermain futsal tiap jumat malam. Iri saya bukan tentang sesuatu yang buruk, melainkan tentang teknologi yang membantu mereka dapat lebih berkembang (bakat) saat mereka terus bertumbuh.

Saya menyukai futsal hari ini adalah buah dari kesukaan saya bermain bola saat berusia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tumbuh dengan bermain tanpa mengerti teknologi seperti saat ini tentu kerja kerasnya lebih besar saat itu.

Dikala sepak bola masih jadi pilihan utama sebelum hadirnya futsal, saya sempat menyematkan diri di masa depan untuk menjadi pemain profesional. Sayang tidak berhasil bila melihat diri saya sekarang.

Masuk Sekolah sepak bola (SSB) merupakan pilihan untuk menaikkan derajat yang selama itu di lingkungan hanya bermain di jalanan atau sekitar rumah.

Tidak cukup hanya mengandalkan latihan di SSB, saya terus berlatih di tempat lain. Mengikuti turnamen dari tingkat SD hingga SMA. Bahkan merancang turnamen sendiri pada waktu SMA yang ditanggapi dengan sangat baik oleh kelas-kelas lain.

Keluar masuk klub, diajak tampil klub lain hingga masuk dalam daftar klub profesional (meski hanya cadangan) adalah perjalanan karir yang lumayan untuk menggapai impian.

Tapi saya akhirnya menyerah ketika pertumbuhan fisik berhenti meski banyak pemain Nasional dapat menunjukkan kelasnya dengan kekurangan fisik tersebut.

Era teknologi, waktunya memperkuat diri

Anak-anak sekarang sangat terbantu dengan perkembangan teknologi, khususnya konten-konten yang dibagikan lewat platform Youtube. 

Semua aktivitas, trik, permainan hingga mendekatkan diri pada pemain idola adalah sesuatu yang tak pernah saya dapatkan. 

Anak-anak hanya perlu mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh pemain profesional lewat tayangan-tayangan yang ada. Meski tetap saja, peran orang tua paling besar untuk mendukung dan mengarahkan anak-anak mereka.

Saya berharap, teknologi yang luar biasa saat ini mampu dimanfaatkan anak-anak untuk terus belajar mengasah kemampuan. Negara ini memerlukan pemain yang dapat mengharumkan Indonesia dikancah dunia.

Bila dulu pilihannya pada saya hanya sepak bola, generasi sekarang dapat memilih untuk melirik futsal sebagai alternatif.

Cabang-cabang olah raga lain sudah banyak terlibat dalam kancah dunia dan beberapa pemainnya sudah dikenal seantero negeri.

Sekarang, giliran kamu sebagai Ayah maupun kakak yang memiliki anak atau adik yang berpotensi menjadi dikenal dunia. 

Dulu sekali, anak laki-laki yang memiliki impian menjadi pemain sepak bola profesional. Sekarang, anak perempuan pun dapat melakukannya.

*Saya jadi iri dengan sekarang 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh