Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Iri Dengan Bakat Anak-anak Sekarang


[Artikel 36#, kategori futsal] Mendadak saya iri dengan anak-anak yang datang bersama Ayahnya di tempat saya biasa bermain futsal tiap jumat malam. Iri saya bukan tentang sesuatu yang buruk, melainkan tentang teknologi yang membantu mereka dapat lebih berkembang (bakat) saat mereka terus bertumbuh.

Saya menyukai futsal hari ini adalah buah dari kesukaan saya bermain bola saat berusia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tumbuh dengan bermain tanpa mengerti teknologi seperti saat ini tentu kerja kerasnya lebih besar saat itu.

Dikala sepak bola masih jadi pilihan utama sebelum hadirnya futsal, saya sempat menyematkan diri di masa depan untuk menjadi pemain profesional. Sayang tidak berhasil bila melihat diri saya sekarang.

Masuk Sekolah sepak bola (SSB) merupakan pilihan untuk menaikkan derajat yang selama itu di lingkungan hanya bermain di jalanan atau sekitar rumah.

Tidak cukup hanya mengandalkan latihan di SSB, saya terus berlatih di tempat lain. Mengikuti turnamen dari tingkat SD hingga SMA. Bahkan merancang turnamen sendiri pada waktu SMA yang ditanggapi dengan sangat baik oleh kelas-kelas lain.

Keluar masuk klub, diajak tampil klub lain hingga masuk dalam daftar klub profesional (meski hanya cadangan) adalah perjalanan karir yang lumayan untuk menggapai impian.

Tapi saya akhirnya menyerah ketika pertumbuhan fisik berhenti meski banyak pemain Nasional dapat menunjukkan kelasnya dengan kekurangan fisik tersebut.

Era teknologi, waktunya memperkuat diri

Anak-anak sekarang sangat terbantu dengan perkembangan teknologi, khususnya konten-konten yang dibagikan lewat platform Youtube. 

Semua aktivitas, trik, permainan hingga mendekatkan diri pada pemain idola adalah sesuatu yang tak pernah saya dapatkan. 

Anak-anak hanya perlu mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh pemain profesional lewat tayangan-tayangan yang ada. Meski tetap saja, peran orang tua paling besar untuk mendukung dan mengarahkan anak-anak mereka.

Saya berharap, teknologi yang luar biasa saat ini mampu dimanfaatkan anak-anak untuk terus belajar mengasah kemampuan. Negara ini memerlukan pemain yang dapat mengharumkan Indonesia dikancah dunia.

Bila dulu pilihannya pada saya hanya sepak bola, generasi sekarang dapat memilih untuk melirik futsal sebagai alternatif.

Cabang-cabang olah raga lain sudah banyak terlibat dalam kancah dunia dan beberapa pemainnya sudah dikenal seantero negeri.

Sekarang, giliran kamu sebagai Ayah maupun kakak yang memiliki anak atau adik yang berpotensi menjadi dikenal dunia. 

Dulu sekali, anak laki-laki yang memiliki impian menjadi pemain sepak bola profesional. Sekarang, anak perempuan pun dapat melakukannya.

*Saya jadi iri dengan sekarang 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Crowned Clown, Drama Korea Kerajaan yang Bercerita Raja yang Bertukar Karena Wajah Kembar

Kembali ke Jogja: Pulang

I Will Never Let You Go, Drama China Kolosal Tentang Putri Pengemis dan Pangeran Bertopeng