Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Susahnya Mengatakan 'Apakah Kamu Baik-baik saja?"


[Artikel 60#, kategori catatan] Orang-orang yang saya ajak bicara tentang sesuatu yang saya anggap kekurangan, mereka selalu berpendapat dan memberi saran untuk melakukan hal yang lebih baik. Padahal, saya berharap mereka mengatakan apakah kamu baik-baik saja?

Orang-orang merasa lebih baik dengan saran yang datang kepada saya. Kamu harus gini, harus gitu atau bahkan mengatakan dirinya yang lebih baik. Meski sambil bercanda, saya tetap berharap itu tidak dilakukan.

Mencari kalimat yang saya maksud tidak gampang. Terkadang anggapan seseorang tentang diri kita yang lebih besar, seolah mengkesampingkan bahwa kita bukan manusia. 

Mereka terus memberi saran dan saran tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya diharapkan. Terlihat baik, tapi sebenarnya kami tidak dalam kondisi baik.

Saya pernah dalam kondisi sangat tidak baik (sakit) untuk mencari pertanyaan dari pasangan. Bukannya rasa khawatir yang ditanyakan, kejengkelan dan kekesalan serta saran ala dokter yang diberikan.

"Hey, saya sedang sakit. Tidak kah kau khawatir?" 

Konsep berpasangan yang begitu dipuja yang dipamerkan dalam banyak cerita rasanya tidak pernah mengakui saya sebagai pria miliknya. Saya begitu menyesal akhirnya ketika mengharapkan lebih malah menjadi rasa kesal yang membuatnya pergi. 

Lebaran yang identik dengan masakan nikmat, membuat saya terus bernostalgia dari masa lalu. Sudah kelima lebaran ini saya tidak merasakan.

Saya berharap ada satu foto yang dikirimkan meski itu bukan masakan asli dari seseorang. Menunggu foto dari sekian chat yang dimulai dari ucapan selamat lebaran bahkan tak muncul-muncul.

Yang ada saran dan saran datang dari pesan tersebut. Saya mampu membelinya, tapi saya hanya ingin melihat bagaimana foto makanan yang saya pikirkan.

Saat mengatakan saya hanya memakan makanan ala kadarnya, perasaan lebih baik terus disematkan oleh mereka. Ya, saya tahu dan mengerti.

Melupakan hal kecil

Pada akhirnya, kalimat yang saya harapkan 'kamu baik-baik saja' tidak pernah datang dari mulut seseorang atau teks chat yang kami lakukan.

Menjadi manusia yang lebih baik memang banyak harapan semua orang. Memotivasi dan menginspirasi, sesuatu yang memang terlihat baik.

Tapi..tapi, apakah kita lupa bahwa kita ini manusia? Jangan melupakan hal kecil bahwa kita memiliki perasaan yang terlihat kuat di luar namun rapuh di dalam.

Ketika seseorang yang kamu temui atau berbicara denganmu terlihat lemah, berhentilah memotivasinya atau menyuruh ini dan itu agar ia lebih baik.

Tanyakan kepadanya, Apakah kamu baik-baik saja? 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya