Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Kenormalan Baru, Bangun Jam 1 Dini Hari


[Artikel 89#, kategori aktivitas] Mata ini mulai terbuka. Mengalirkan sinyal ke pikiran, lalu memprosesnya ke seluruh tubuh. Memori sebelum tidur masih tersimpang, intuisi saya bergerak bersamaan tubuh pertama yang beranjak, yaitu tangan yang sedang mencari-cari smartphone. Oh, masih jam 1 dini hari.

Istilah kenormalan baru menjadi perbincangan hangat setelah pemerintah ikut memproklamirkan. Padahal bagi para pemasar, istilah ini adalah identitas. Sesuatu yang digunakan untuk menarik perhatian, segmentasi yang berhubungan dengan konsumen.

Saya mengalami kenormalan baru setelah bulan puasa. Tanpa sadar, tubuh saya masih merekam pola yang saya buat selama sahur. Bangun jam 1 dini hari, dan sahur jam 3 (tapi diganti jadi jam 4). Itu jadi sarapan sepertinya, mengingat waktu makan saya selanjutnya adalah jam 11 siang.

Keuntungan

Sebelumnya, tubuh saya memiliki alarm tersendiri yang sudah saya buat beberapa tahun belakangan. Tidur di bawah jam 9 malam dan bangun jam 3 dini hari. Mandi sebelum salat subuh dan berolahraga. 

Sekarang, alarm itu berbunyi lebih cepat. Bahkan tubuh ini sudah bangun sebelum alarm ponsel saya berbunyi yang saya atur jam 1.20 wib. 

Kenormalan baru ini membuat saya memiliki banyak waktu. Saya lebih fleksibel dan tidak terburu-buru melakukan pekerjaan pagi hari.

Kerugian

Tapi dengan umur saya sekarang, saya harus juga menerima resiko. Saya tidak punya jam tidur berkualitas, minimal 6 jam. Kenormalan baru ini malah memangkasnya menjadi 4-5 jam. Saya khawatir dengan kesehatan saya di masa depan.

Kantuk adalah musuh terbesar untuk kenormalan baru ini. Dan dampaknya juga bisa merusak mood kala tubuh tidak bisa memikul kembali rasa kantuk, meski berbagai upaya dilakukan.

Mandi, ngopi adalah bagian strategi bagaimana saya tetap hidup di waktu pagi dini hari. Terutama otak yang membutuhkan dorongan karena banyak digunakan. Seperti menulis semisalnya.

...

Saya pernah mengalami hal seperti ini, tidur hanya 4 jam sehari. Untuk orang muda, itu tidak masalah. Namun sekarang rasanya saya merasa bersalah.

Saya tidak tahu bagaimana mengatasinya. Yang saya tahu, saya hanya menikmati keuntungannya saja. Semoga tubuh ini sehat selalu. Amin.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya