Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Mas, Aku Mau Menikah

[Artikel 12#, kategori keluarga] Tidak menyangka, si Bungsu lebih dulu akan menikah dari kakak-kakanya. Kabar baik sebenarnya. Setidaknya, orang tua ikut bahagia karenanya. Harapan menimang cucu, bakal terwujud beberapa waktu ke depan. Hanya saja.

Sebagai pria, kita perlu sebuah kekuatan yang menopang masa depan. Kekuatan yang terbungkus harta dan jabatan, sangat penting menjaga mahligai agar tidak mudah roboh.

Benar, segerakan menikah bila melihat dari sisi agama. Namun tulisan ini adalah pikiran saya sebagai pria. Saya tidak ingin melihat kesenangan dahulu dan akhirnya menderita kemudian. 

Berharap yang terbaik

Ketika saya mengomentari anak muda sekarang yang lebih cepat menikah, khususnya di bawah 25 tahun, saya malah berhadapan dengan keluarga sendiri.

Tahun 2019, saya sudah sempat berpikir serius dengan seorang wanita yang berusia di bawah 25 tahun yang ingin kami menikah. Saya ingin mengenalnya dulu, tidak ingin buru-buru. Tapi takdir berkata lain, ia pergi tanpa bertanggung jawab dengan harapan yang ingin saya wujudkan untuknya.

Seolah menjilat ludah sendiri, meski tidak dilakukan. Andai keluarga kami memiliki warisan turun temurun yang cukup kaya, tentu tidak masalah. Sayangnya ini bukan kisah dalam komik.

Saya kali ini hanya bisa berharap yang terbaik. Nasi sudah menjadi bubur. Bukan untuk menghalangi, hanya saja ingin bilang sebagai pria, kerja keraslah dulu dan nikmati hidup.

Jangan jadi beban di masa depan

Saya ingin berpartisipasi, membantu dan melihat si bungsu bahagia. Namun karna koronavirus, sepertinya tidak mungkin dilakukan.

Pandemi begini sangat menakutkan, tapi entah kenapa itu seolah dianggap sebagai pembuktian diri. Dengan pekerjaan yang sudah dimiliki, rasa percaya diri memang terbukti.

Saya tidak bisa berkata apa-apa ketika ia mengabari dan meminta bantuan kepada saya yang kerjanya belum stabil dari sisi finansial. 

Sebagai kakak, hanya bisa mengeluh dalam pikiran. Ya, semangat buatmu dan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung beberap waktu ke depan.

Buktikan kamu pria, jangan jadi beban di masa depan karena merasa tidak bahagia. Hadapi masalah, dan terima tantangannya. Hanya itu yang bisa saya katakan hari ini.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh