Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Ketika Semesta Ikut Merestui

[Artikel 62#, kategori Cinta] Semesta kembali merestui kala menurunkan hujan malam ini sebelum tiba sampai di rumah. Seolah mengerti bahwa ikhlas melepaskan adalah derajat tertinggi dalam hubungan asmara.

Beberapa jam sebelum hujan malam ini (16/5). Dia datang ke rumah setelah bersenang-senang di tempat wisata. Konflik yang sebelumnya terjadi antara kami, seakan tidak terjadi. Padahal saya sudah mengambil keputusan besar merelakannya bersama pria lain yang mencintainya juga.

Sore itu, waktu terasa panjang. Niatnya sudah tercium jika pertemuan kami adalah meminta restu agar ia bisa bersamanya. Saya dianggap sangat penting, tanpa restu saya, ia tidak akan bisa tenang.

Saya yang sudah diujung jurang, mau tidak mau memberi jawaban. Sebagai pria yang masih menyayangi, saya tidak mau. Tapi sebagai pria dewasa, saya harus rela dan ikhlas. Hubungan kami sudah tanda merah, tidak akan pernah bisa karena faktor agama.

Entahlah, dalam hati saya bergumam "padahal belum nikah, maju ngajuin proposal saja ke keluarga belum. Tapi sudah ditondong masa depan yang kelam jika faktor utama kami sudah mentok untuk dicarikan solusinya".

Hujan kemarin

Setelah menghabiskan waktu bersama, saya mengantarnya pulang. Kami baik-baik saja. Masih seperti sepasang merpati meski berstatus mantan.

Malam yang belum begitu larut, membuat perasaan saya kalut. Apakah ini terakhir kami bertemu. Yasudah lah. Pria yang akan menjadi kekasihnya sudah menunggunya. Lebih baik ikhlas saja dulu.

Selepas mengantarnya di depan rumah, kosannya, saya berusaha tegar. Tak menatap ke belakang. Kalimat terakhirnya yang mengatakan kok tidak panggil sayang adalah bagaimana saya berusaha mantap dengan keputusan ia pindah ke lain hati.

Terangnya langit malam ini hanya beberapa saat. Saat berhenti di lampu merah dekat rumah,  mendadak turun hujan. Apa ini? Pikiran saya mengingat hujan kemarin yang juga posisinya sama. Ikhlas pergi agar ia bersama pria barunya.

Laju motor terus saya gas di tengah guyuran hujan yang mendadak besar. Sial, air mata yang saya inginkan keluar karena perasaan galau tertutupi air hujan yang membasuh wajah.

Apakah ini pertanda semesta setuju saya dan dia berpisah? Bila hujan sebelumnya tidak berhasil membuat kami berpisah, mungkin yang ini. Ternyata sebelumnya, masih pedekate. Tapi sudah panggil sayang-sayangan.

Saya berharap Tuhan mendengar doa saya agar ia lebih bahagia dengan kekasih barunya.  Dan biarkan saya sekali lagi diberikan pilihan wanita lain yang bisa menerima saya apa adanya.

Jangan dia lagi, tapi yang lain.
Yang sama-sama sedang berusaha menguatkan diri dari perasaan yang telah pergi. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh