Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Ketika Semesta Ikut Merestui

[Artikel 62#, kategori Cinta] Semesta kembali merestui kala menurunkan hujan malam ini sebelum tiba sampai di rumah. Seolah mengerti bahwa ikhlas melepaskan adalah derajat tertinggi dalam hubungan asmara.

Beberapa jam sebelum hujan malam ini (16/5). Dia datang ke rumah setelah bersenang-senang di tempat wisata. Konflik yang sebelumnya terjadi antara kami, seakan tidak terjadi. Padahal saya sudah mengambil keputusan besar merelakannya bersama pria lain yang mencintainya juga.

Sore itu, waktu terasa panjang. Niatnya sudah tercium jika pertemuan kami adalah meminta restu agar ia bisa bersamanya. Saya dianggap sangat penting, tanpa restu saya, ia tidak akan bisa tenang.

Saya yang sudah diujung jurang, mau tidak mau memberi jawaban. Sebagai pria yang masih menyayangi, saya tidak mau. Tapi sebagai pria dewasa, saya harus rela dan ikhlas. Hubungan kami sudah tanda merah, tidak akan pernah bisa karena faktor agama.

Entahlah, dalam hati saya bergumam "padahal belum nikah, maju ngajuin proposal saja ke keluarga belum. Tapi sudah ditondong masa depan yang kelam jika faktor utama kami sudah mentok untuk dicarikan solusinya".

Hujan kemarin

Setelah menghabiskan waktu bersama, saya mengantarnya pulang. Kami baik-baik saja. Masih seperti sepasang merpati meski berstatus mantan.

Malam yang belum begitu larut, membuat perasaan saya kalut. Apakah ini terakhir kami bertemu. Yasudah lah. Pria yang akan menjadi kekasihnya sudah menunggunya. Lebih baik ikhlas saja dulu.

Selepas mengantarnya di depan rumah, kosannya, saya berusaha tegar. Tak menatap ke belakang. Kalimat terakhirnya yang mengatakan kok tidak panggil sayang adalah bagaimana saya berusaha mantap dengan keputusan ia pindah ke lain hati.

Terangnya langit malam ini hanya beberapa saat. Saat berhenti di lampu merah dekat rumah,  mendadak turun hujan. Apa ini? Pikiran saya mengingat hujan kemarin yang juga posisinya sama. Ikhlas pergi agar ia bersama pria barunya.

Laju motor terus saya gas di tengah guyuran hujan yang mendadak besar. Sial, air mata yang saya inginkan keluar karena perasaan galau tertutupi air hujan yang membasuh wajah.

Apakah ini pertanda semesta setuju saya dan dia berpisah? Bila hujan sebelumnya tidak berhasil membuat kami berpisah, mungkin yang ini. Ternyata sebelumnya, masih pedekate. Tapi sudah panggil sayang-sayangan.

Saya berharap Tuhan mendengar doa saya agar ia lebih bahagia dengan kekasih barunya.  Dan biarkan saya sekali lagi diberikan pilihan wanita lain yang bisa menerima saya apa adanya.

Jangan dia lagi, tapi yang lain.
Yang sama-sama sedang berusaha menguatkan diri dari perasaan yang telah pergi. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya