Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Indonesia Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20

[Artikel 58#, kategori sepakbola] Bahkan, masuk Piala Dunia lewat jalur tuan rumah pun kita gagal. Kalimat tersebut saya kutip dari postingan di Twitter. Sedih rasanya kala mimpi itu akan tergapai, bahkan sudah di depan mata, malah buyar hanya dari kata-kata yang merugikan.

Topik panas ini terjadi menjelang akhir bulan Maret. Rencana besar mempromosikan Indonesia lewat kancah sepak bola, terutama talenta-talenta muda, harus pupus begitu saja.

Perbincangan panas terus bergulir seputar kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 di media sosial. Khususnya Twitter, sangat-sangat parah.

Mengubur mimpi

Bernafas sejenak membayangkan ke belakang saat saya pernah bermimpi menjadi pemain sepak bola profesional. Impian yang terus digenggam dengan semangat kerja keras terus menerus di lapangan.

Sayangnya, impian itu harus dikubur dalam-dalam karena dirasa semakin sadar bahwa itu sulit dilakukan. Karir saya mentok sebagai pemain semi pro yang pernah mencicipi bangku cadangan saat membela tim Ibu Kota Kalimanta Timur yang saat itu sedang berlaga di divisi pertama (bukan liga utamanya).

Saya merasakan betul bagaimana rasanya mimpi yang terkubur meski sudah bekerja keras. Sedih, menangis dan seolah dunia tidak adil dengan yang sudah saya lakukan.

Begitu juga pemain muda timnas yang mencoba menggapai tangga yang belum pernah digapai pemain Indonesia lainnya di era modern, yaitu ajang Piala Dunia.

Tidak sekedar bermain dengan melawan banyak negara dan menunjukkan kekuatan tuan rumah, tapi juga menarik perhatian pemerhati sepak bola luar negeri yang dapat membawa mereka pergi ke klub-klub di Eropa atau setidaknya, sesama benua Asia.

Noda yang tidak akan mudah dilupakan

Sejarah akan mencatat kegagalan ini sebagai sebuah momen yang tidak akan mudah dilupakan. Bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya dan perjalanan yang menyakitkan bagi sebagian orang.

Sabar, mungkin hanya itu yang bisa dikatakan sekarang ini. Percayalah, kesempatan itu akan datang lagi. Siapa tahu, kan? Kita hanya perlu terus bertahan karena hari ini tidak akan sama dengan hari esok, lusa dan masa depan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh