Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Wanita yang Rindu Anaknya


Jangan pandang tubuh mungilnya seperti wanita pada umumnya di era sekarang yang mudah menyerah dan pergi meninggalkan suami-suami mereka. Wanita ini bertahan karena sebuah alasan kuat, anak-anaknya.


Saya sedang menceritakan ibu saya yang berkunjung ke Semarang untuk menengok anak lelaki pertamanya yang jarang pulang. Seorang wanita tangguh yang pergi meninggalkan kesenangannya di tempat asalnya untuk sekedar bersenda gurau dan menasehatinya arti penting peran seorang ibu.

Anak yang keras kepala tersebut adalah harapan ibunya. Harapan semua keluarganya dan juga motivasi bagi saudara-saudaranya. Entah apa yang ia inginkan dengan sifat kerasnya yang hanya bermodal tekad dan mimpi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Ini yang dikatakan seorang ibu kepada pria yang tahun ini berusia 29 tahun. Kapan wisuda, menikah, pergi haji ibunya, pulang, telpon adikmu, rendah diri dan segudang pikiran yang tersimpan di memori setelah anaknya jarang pulang.

Saya sadar tentang keputusan pergi ke Semarang tahun 2007. Apalagi semenjak itu sang anak belajar mandiri, tidak membebani ibunya dan keluarganya, ditambah ia juga dibantu keluarga sahabatnya. Sosoknya kini adalah hasil dari didikan sang pengalaman yang banyak mengajarkan kesetiaan, kebahagian, kesedihan dan keikhlasan.

Sang anak masih belajar menjadi orang baik. Baginya menjadi orang baik sangat sulit. Beberapa hari bersama ibunya, ia seolah mengerti dunia dan tanpa sadar ada tali yang membentang antara jaman sekarang dan jaman dulu.

Produk modern yang sok tahu dan mencari pembenaran. Akhirnya, menjadi orang baik itu tidak cukup dengan segudang ilmu yang dimiliki. Kini, sang ibu sudah kembali ke kota asalnya dan mengikhlaskan dirinya meninggalkan anaknya kembali.

Sang anak? Tetap kekeh dengan pikiran dan mimpi-mimpinya. Yang sebenarnya berharap ingin membuktikan sesuatu kepada ibu dan keluarganya. Hanya saja masih butuh waktu dan waktu.

Love U, Mom!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun

Blog Personal Itu Tempat Curhat