Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Mengagumi Seseorang di Era Media Sosial


[Artikel 38#, kategori catatan] Di umur sekarang, mendengar seseorang berbicara mengenai rasa kagum, tentu itu menyenangkan. Terlebih itu tentang saya sendiri. Ada rasa bangga yang tidak ingin diungkapkan sebenarnya. Hanya saja, kagum itu kadang menyakiti kita sendiri.

Saya trauma dengan kata-kata mengagumi yang pernah membawa saya pada perjalanan panjang saya bersama dotsemarang. Kagum itu benar-benar membuat saya menghormati seseorang dan banyak belajar dari mereka.

Apalagi waktu jaman tersebut, era media sosial belumlah seperti sekarang. Kami bertemu, tegur sapa, dan saling bicara. Kebenaran rasa kagum ini tentang sosok pria yang punya pengetahuan lebih dari saya.

Perjalanan waktu, rasa kagum itu berhenti. Bila era sekarang meng-unfollow teman di media sosial karena tidak bertemu merupakan hal biasa. Apalagi menyangkut nilai-nilai positif, maka di era saat saya berhenti mengagumi itu masih saya anggap kurang baik.

Orang yang saya hormati, kagumi, banggakan dan elu-elukan, ternyata mengunfollow saya. Jujur saya kecewa berat waktu itu. Sosoknya benar-benar tidak disangka bahwa ia memilih melakukannya.

Dan terbaru, saya kembali di unfollow oleh orang yang saya kagumi. Tanpa dosa dan sempat saya konfirmasi, dan saya tidak peduli alasannya mengapa ia tidak menyukai saya di media sosial.

Orang yang saya kagumi tidak banyak, segelintir orang saja. Kami sering bertemu dan tentu umurnya lebih di atas saya. 

Saya jadi ingat tentang materi seminar kemarin yang membahas media sosial. Kedewasaan seseorang di media sosial diuji saat ia harus memilih untuk bertahan berteman atau tidak berteman.
Saat ini, jika ditanya saya mengagumi siapa? Saya jawab 'tidak ada'.
...

Saya ingin berpesan ketika kamu mengagumi seseorang janganlah berharap terlalu tinggi seperti saya. Apalagi mengungkapkannya. Kecewa yang kita terima sama seperti rasa kagum saat di awal.

Di media sosial jaman now, tidak berteman di media sosial karena berbeda pandangan, menurut saya itu hal wajar. Namun jaman dulu, buat saya yang sering bertemu dan sering bicara, tidak berteman sama saja mengkhianati perasaan yang sudah saya taruh paling tinggi.

Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semua sudut pandang yang ada, sebaiknya kita terima. Mungkin dia jengkel, atau salah pencet. Mengagumi, sebaiknya sekedar kagum saja. Tak perlu berlebihan.

Gambar : Ilustrasi

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat