Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Group Facebook yang Mati Suri Ketiga Kalinya



Bukankah ini era baru, dimana hasil perpaduan manusia dan teknologi menjadi kekuatan yang menembus batas ruang dan waktu. Memberikan efisiensi dan saling terhubung dimanapun. Ternyata tidak demikian. Saya dejavu kembali.

Beberapa hari ini saya merenung tentang apa yang salah dengan keinginan saya. Benarkah sekarang eranya teknologi yang memperpendek ruang untuk bertemu dan saling berinteraksi. Atau kita sedang sibuk mengaktualisasi diri, menjual diri, menceritakan kepada dunia bahwa kita baik-baik saja.

Manusia yang pada dasarnya selalu bergantung antara satu dengan yang lain. Manusia saling memberikan dukungan dan kekuatan. Kemana itu semua saat apa yang saya harapkan tidak terjadi disini (grup).

Teknologi mengubah cara manusia berinteraksi dalam banyak hal. Bahkan orang Indonesia adalah orang-orang yang sangat aktif di jejaring sosial melebihi negara-negara di Asia Tenggara. Mengapa masih kurang juga menurut saya?

Dejavu

Pemikiran sempit ini muncul lagi. Bagaimana dulunya saya mencoba mempertahankan sebuah grup untuk selalu ramai ternyata sepi. Bahkan, untuk mereka yang disebut keluarga sekalipun. Grup dotsemarang seperti kuburan. Entahlah, kemana orang-orangnya waktu itu. Dan akhirnya saya membiarkan mati perlahan-lahan.

Saya tak mau berhenti untuk memberikan motivasi kepada diri saya sendiri. Oke, dotsemarang bubar grupnya. Ganti namanya menjadi grup blogger Semarang. Sial, nasibnya sama saja. Penghuninya sepi lagi. Padahal melihat mereka ada di timeline baik facebook dan twitter saya kok jadi sedih sendiri.

Dan ini mungkin akan segera terjadi lagi. Grup Kopdar Semarang sepertinya tidak berguna lagi. Interaksi yang diharapkan ternyata tidak mewakili apa yang dinamakan manusia digital saat ini. Terhubung tanpa batasan waktu dan tempat. Saling membutuhkan dan memberitahukan.

Bila ada pun, malah berbagi tautan blog yang semua grup yang ada di facebook dibaginya. Saat dikomentarin, tak ada jawaban. Emang dikira grup ini tempat iklan??

Saya dejavu lagi. Sudah waktunya saya harus membunuh perasaan peduli ini dengan sekitar. Mereka rasanya sudah dewasa untuk memaklumi. Saya bosan memberi dan mulai berinteraksi. Alasannya, setelah saya diam hingga seminggu atau sebulan, grup sepi. Saya gagal membangun jiwa disana.

Brotherhood

Saya sangat suka dengan konten marketing yang banyak mengulas sisi teknologi khususnya. Salah satu artikel yang saya baca adalah tentang brotherhood.

"Jika merek Anda sudah menjadi bagian persaudaraan, maka mereka pun bisa memahami kesusahan dari merek Anda"

Yang saya tangkap adalah saya berusaha membangun tali persaudaraan dengan semua orang lewat online dan offline. Ternyata saya tetap gagal. Tidak ada yang memahami tentang keresahan saya arti dari persaudaraan yang saling membutuhkan dan berinteraksi satu sama lain.

Mungkin ini alasan grup facebook sudah harus saya tutup kembali

Tidak ada cinta

Mencintai memang tidak mengharap balasan. Begitulah cinta. Tapi yang ingin saya harapkan adalah kita saling mencintai. Berbagi apa pun dan semua saling membutuhkan. Bukan selalu disuapin dan kamu datang.

Platform yang usang

Saya pikir grup facebook adalah platform yang usang. Ternyata grup whatsaap termasuk. Orang-orang yang membangun ternyata tetap tidak ada. Sama saja. Tergantung orangnya saja.

Datang sebagai tamu

Mungkin ini karna grup bukan komunitas. Tapi sama saja sih. Orang-orang yang datang sebagai tamu dan ingin melihat seperti apa dalamnya, setelah puas mereka langsung pergi. Sekedar mengamati saja apa yang terjadi.

Hanya ikut-ikutan

Padahal sisi ofline saya geber terus untuk saling berinteraksi. Hey, saya benar-benar lelah memikirkannya. Yah, saya mengamati tipe orang-orang yang pendiam ternyata mereka hanya ikut-ikutan saja. Ngapain peduli dengan semua yang terjadi. Kalau menarik, baru saya nimbrung lagi.

...

Maaf saya selalu mengeluh dengan ini dan itu-itu saja. Tentu saya seperti orang membosankan. Apakah ini efek saya karena begitu mencintai atau karena rasa peduli. Entahlah.

Saya ingin berbagi sedikit buat mereka yang berusaha membangun grup percakapan di media sosial. Inilah potret yang terjadi terhadap saya. Tapi ini tidak mewakili masyarakat seluruhnya. Hanya 1 banding 10 mungkin.

Dengan adanya masalah ini, seharusnya bisa jadi bahan pelajaran dan ukuran buat teman-teman yang berusaha ingin membangun interaksi lewat grup. seperti facebook, yang saya lakukan, Atau whatsapp maupun line.

Semua kembali ke diri masing-masing dan cobalah memaklumi ini semua di era sekarang. Jadi jangan heran, melihat seisi grup sibuk update diluar grup, bercerita dan berbagi namun tidak terjadi di dalam.

Salam blogger

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh