Foto ilustrasi : Google
Saya jadi ingat saudara saya yang ngebet banget dengan ponsel. Orang tua akhirnya pasrah dengan membelikannya juga pada akhirnya. Anak ABG yang mencoba mengikuti tren memang begitu memiliki keinginan kuat untuk mencari perhatian. Sayang, beberapa kali saya mendengar bahwa ponsel yang dibelikan dijual dan diganti dengan yang lain. Lebih modern dan tentu teknologi yang mumpuni.
Tiba-tiba saya tak sengaja mendapatkan artikel menarik dari tabloid pulsa yang terbit 20 mei - 2 Juni. Lewat kolom lifestyle dituliskan judul yang sebenarnya dari judul postingan ini, 'ABG yang tak pakai handphone dan bersosial media, bagaimana nasib mereka?
Kehilangan sesuatu yang lebih besar
Menonton berita atau membaca lewat Internet terkadang menyakitkan perasaan, khususnya orang tua yang melek teknologi dan memiliki anak. Jargon internet seperti mata pedang yang memiliki dua sisi sama tajamnya memang membuat ketar-ketir bila melihat dampak negatif juga ikut serta diantara dampak positif penggunaan Internet saat ini.
Soal artikel dari tabloid Pulsa tadi menuliskan tentang statistik menarik remaja di New York yang sekitar 15% ternyata mereka hanya memiliki basic phone atau hp jadoel tanpa terkoneksi jaringan 2g (jaringan paling bawah diantara jaringan internet setelah 3G). Sisanya, 12% malah tidak memiliki ponsel.
Dua orang peneliti, Crystle Martin dan Mimi Ito baru-baru ini menulis tentang fakta ini di jurnal The Conversation. Remaja yang memiliki uang lebih sedikit lebih mungkin tidak memiliki ponsel yang lebih canggih, dan dengan demikian mereka cenderung tidak menggunakan aplikasi media sosial semacam snapchat, twitter atau facebook.
Saat Dr Martin dan Dr Ito mewancari 14 remaja dengan uang saku yang rendah, mereka menemukan bahwa hanya setengah dari mereka yang memiliki smartphone.
Semuanya tidak menggunakan instagram, dan hanya satu yang menggunakan aplikasi snapchat. Anak-anak lain mengatakan kepada si pengguna Snapchat tersebut, "Kita semua menjadi buta di media sosial kecuali kamu."
Kurangnya akses ke aplikasi media sosial seperti Snapchat tampaknya tidak menjadi masalah besar, terutama bagi mereka yang merasa khawatir tentang efek buruk penggunaan media sosial.
Tapi anak-anak yang tidak menggunakan teknologi akan kehilangan sesuatu yang lebih besar daripada sekedar sebuah perangkat canggih yang dapat mengisi waktu luang mereka.
Dr Martin dan Dr Ito menulis, "Perangkat digital dan jejaring sosial adalah tempat dimana orang-orang muda merasa lebih lancar dan mendapatkan kenyamanan sehari-hari dengan bantuan teknologi untuk mengadopsi norma-norma sosial dibanding zaman kita dulu."
"Apakah dia sedang mengelola jaringan kerjanya di Linkedln atau belajar coding, orang-orang muda yang tidak memiliki kefasihan digital dan akses penuh ke jaringan akan selalu berada di belakang rekan-rekan mereka yang lebih terhubung dengan teknologi."
Manfaat koneksi digital terhadap kehidupan remaja
Saya sudah membuka profil dan tulisannya di internet tentang pandangan seorang remaja bagaimana memandang teknologi khususnya media sosial. Yah, dia bernama Andrew Watss. Sangat mudah menemukannya di mesin pencari.
Masih dari artikel tabloid Pulsa bagaimana seorang Andrew mendapatkan ketenaran melalui Internet pada bulan Januari lalu karena menulis artikel bertajuk "A Teenager's View on Social Media (Visi Remaja di Media Sosial)."
Pasrah saat harus membuka tulisannya yang ditaruh di medium.com berbahasa Inggris. Kekurangan ini sudah tak perlu saya sembunyikan lagi. Pada akhirnya, google translate pun memberi kemudahan.
"Keajaiban-keajaiban" yang terjadi setelah ia mempublikasikan artikel tersbeut. TechCrunch, salah satu website teknologi terkemuka dunia mencarinya untuk melakukan wawancara.
Dia juga diundang untuk memberikan pidato tentang media sosial. Dia berkesempatan bertemu dengan menteri Perdagangan dan Pendiri Twitter Biz Stone. Malah pada satu titik, ia mempertimbangkan kemungkinan berhenti mengejar impian kerja kantoran full time dan mencoba beberapa peluang pekerjaan yang saat ini ada di depan mata.
Tentu saja, kasus Watt adalah sebuah contoh ekstrim, namun karyanya tidak akan banyak mendapatkan perhatian jika orang dewasa tidak ingin tahu tentang dengan perilaku media sosial remaja.
Menjadi seorang remaja di media sosial adalah menjadi bagian dari demografi yang sangat didambakan - dimana ia akan disurvei, dipasarkan, dan jika beruntung bahkan akan dibayar.
**Pengalaman yang sering saya dapatkan beberapa tahun lalu.
Hal ini menjadi kesempatan sangat besar dan terlihat. Mungkin sebagian orang memandangnya sebagai sesuatu yang buruk dan sebagian yang lain menganggap hal itu lebih baik, bisa menghasilkan banyak uang.
Dari situ semakin terlihat, seorang remaja yang tidak ambil bagian di media sosial akan menjadi 'hantu' dan tidak terlihat oleh mereka pengambil keputusan.
Menjadi Berbeda dan tidak Sama dengan orang dewasa
Sudah lelah membaca artikel panjang ini yang tumben-tumbennya saya memposting sebanyak ini. Meski ini sebagian besar copy paste dari tabloid Pulsa. Semoga saya nggak dikirimin surat keberatan karena artikel ini dimuat. Saya berusaha membaginya saja dan tidak mengambil keuntungan tentunya.
Gambar : Google
Dari atas sudah kita dapatkan sisi positif tentang remaja yang memanfaatkan teknologi. Selanjutnya, ini adalah sisi negatifnya namun harus dibaca dengan seksama.
Para ahli mengatakan remaja memiliki kebutuhan untuk merasa terhubung, apapun caranya bahkan jika itu dengan melakukan perilaku bodoh. Beberapa tren di media sosial yang kadang keterlaluan secara online malah menciptakan 'rasa dimiliki' oleh masyarakat dan membantu remaja menghindari perasaan terisolasi.
Hal inilah yang kadang dapat menjelaskan mengapa ada video remaja yang melakukan bullying malah ditonton oleh ribuan orang. Beberapa minggu lalu, tantangan #KylieJennerChallenge bahkan telah membuat puluhan remaja putri masuk rumah sakit gara-gara menginginkan bentuk bibir seksi ala sosialita tersebut.
Yang terbaru, ada video Cinnamon Challenge dimana remaja ditantang untuk memposting video dimana ia harus menelan sesendok penuh cabai tanpa bantuan air minum. Tentu ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan kasus tersedak hingga kematian.
Pada akhirnya menutup artikel tersebut adalah tentang "mereka ingin menjadi berbeda dan tidak sama dengan orang dewasa," kata Dr Amir Levina, psikiater untuk orang dewasa, anak, remaja dan neuroscientist di divis anak dan psikiatri remaja di Columbia University, kepada CBS News.
"Mereka benar-benar memiliki kebutuhan yang sangat penting untuk melakukan hal-hal yang rekan-rekan mereka juga lakukan. Bagian dari tekanan teman sebaya adalah bagaimana supaya ia dia sesuai dengan kelompok sebayanya.
...
Terimakasih buat mas @ariefburhan artile menariknya ini.
Sumber original: Tabloid Pulsa Edisi 311 Th XIII / 2015 / 20 Mei - 2 Juni
Komentar
Posting Komentar