Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

[Futsal] Mengalahkan Pemain Fantasista


[Artikel 11#, kategori futsal] Pemain yang paling banyak berimprovisasi ini tidak mudah dikalahkan. Sekali dibendung, ia tetap saja bangkit dan terus mengecoh lawannya. Cara terbaik mengalahkan pemain yang identik dengan nomor 10 ini ialah mematikan rekannya. Karena tanpa rekan, ia tak memenangkan pertandingan meski ia pandai dengan trik sepakbola-nya.

Jumat malam (13/7), posisi saya kali ini lebih banyak menjadi pemain belakang. Saya berhasil mematikan semua bola yang mengarah ke gawang tim saya. Termasuk penyerang ganas yang tak kenal lelah dari kubu lawan. Saya pikir ia sangat frustasi malam ini.

Giliran pergantian seluruh tim, saya selalu ikut istirahat. Maklum pemain futsal yang cuma 5 pemain dalam satu tim, sudah ditunggu rekan lainnya yang juga jumlahnya sama. Dengan waktu permainan (baca sewa) selama 2 jam, giliran main sangat penting.

Tiga kali main, saya masih menjadi pemain belakang. Saya benar-benar senang dengan gaya permainan saya kali ini. Meski tak bisa juga membendung pemain lawan terus mencetak gol juga, fisik saya aman kali ini dari rasa lelah yang berlebihan.

Bagian terakhir saya bermain, saya tetap melanjutkan tanpa berhenti meski tim lain sudah diganti. Dilihat dari materi pemain, sebenarnya saat saya disuruh menjadi penyerang, saya baik-baik saja. Tapi saya mulai khawatir saat pemain fantasista beraksi dengan partnernya. 

Bukan saja berkali-kali menaklukkan penjaga gawang, namun juga berhasil mengacak area tim yang saya ikuti hingga waktu usai.

Saya ingin mengambil alih posisi pemain belakang, namun sudah ada yang mengisi. Dan saat saya terus melihat pemain fantasista mengacak-acak, saya berpikir sebaiknya saya menjaga rekannya.

Ya, berhasil. Pergerakan fantasista yang mengagumkan seolah terasa hambar. Liukan, gerakan yang tidak mudah ketebak dan jelajah area yang super luas seakan berhenti. Tim kami bisa mengatasi meski tetap saja ia mampu melewati. 

Begitulah cara mematikan pergerakannya. Mudah sebenarnya, hanya saja kadang saya atau lainnya lupa bagaimana membaca aliran bolanya. 

Saya jadi ingat Messi yang harus pulang dan mengubur impiannya juara Piala Dunia tahun 2018 ini. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Crowned Clown, Drama Korea Kerajaan yang Bercerita Raja yang Bertukar Karena Wajah Kembar

Half Girlfriend, Film India Tentang Pria yang Jatuh Cinta dan Tidak Mau Menyerah

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh