Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Pernikahan Si Bungsu

[Artikel 16#, kategori keluarga] Apakah ini sebuah tren sekarang? Yang paling bontot lebih cepat nikah ketimbang saudara-saudara tuanya. Mungkin maksudnya baik, hanya saja saya tak pernah terbayangkan akan dilangkahi dalam hidup ini.

Awal bulan Juni, saya terpaksa pulang. Berbagai alasan yang seharusnya membuat saya tidak pulang kali ini kalah dengan momen sakral adek bungsu. 

Keluarga utama saya bukanlah seperti keluarga yang dibayangkan di tv-tv. Keputusan menikah si bungsu pun tanpa banyak pendapat yang dilibatkan. Saya seperti pengunjung tempat ngopi, setelah pesan, saya hanya perlu menunggu di meja.

Memang dulu sempat membicarakan pernikahan juga. Tapi karena sebuah alasan waktu itu, tidak jadi. Dan sekarang tahu-tahu kembali dengan rencana semula, sebuah pernikahan.

Berbahagialah

Saya sering bilang pada orang-orang yang saya ajak bicara ketika ngomongin pernikahan. Ketika kamu tinggal bersama Ayah dan Ibumu, tekanan menikah lebih besar dan sangat tidak terbendung. 

Maka tidak heran, teman-teman seumuran saya sebagian besar sudah menikah. Memiliki buah hati yang dipamerkan di media sosial agar terlihat sangat bahagia.

Si bungsu yang tinggal bersama keluarga inti juga harus merasakan dampaknya tekanan menikah kala umur sudah tepat. Menunggu saudara-saudaranya tanpa kepastian, hanyalah membuang waktu saja.

Apalagi dengan renge'an Ibu yang ingin menimang cucu. Ditambah omongan yang terasa biasa buat orang tua, tapi terasa beban bagi anak-anak yang ingin berbakti. 

Ibumu ini sudah tua, umurnya tidak panjang. Ibu ingin melihat kalian menikah dan menimang cucu tercinta.

Berbahagialah adikku. Maafkan saudaramu ini yang seharusnya tekanan ini ada padaku, harus kamu yang memikul. Menikah adalah keputusan, dan bahagia adalah pilihan.

...

Saya sendiri pun tak munafik untuk memiliki keinginan menikah, setidaknya sekali seumur hidup. Namun entah kenapa semakin ke sini, seleksi wanita yang mau bertahan tidaklah banyak.

Semisal ada pun, itu masih ragu. Menghubungkan dua keluarga itu tidak mudah. Apalagi membangun keluarga sendiri tanpa persiapan yang matang.

Selamat berbahagia adikku, bertahanlah dalam setiap cobaan. Yang membuat pernikahan itu kekal adalah bagaimana menikmati prosesnya dengan tidak lari dari setiap masalah.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Crowned Clown, Drama Korea Kerajaan yang Bercerita Raja yang Bertukar Karena Wajah Kembar

Kembali ke Jogja: Pulang