Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s...

Pernikahan Si Bungsu

[Artikel 16#, kategori keluarga] Apakah ini sebuah tren sekarang? Yang paling bontot lebih cepat nikah ketimbang saudara-saudara tuanya. Mungkin maksudnya baik, hanya saja saya tak pernah terbayangkan akan dilangkahi dalam hidup ini.

Awal bulan Juni, saya terpaksa pulang. Berbagai alasan yang seharusnya membuat saya tidak pulang kali ini kalah dengan momen sakral adek bungsu. 

Keluarga utama saya bukanlah seperti keluarga yang dibayangkan di tv-tv. Keputusan menikah si bungsu pun tanpa banyak pendapat yang dilibatkan. Saya seperti pengunjung tempat ngopi, setelah pesan, saya hanya perlu menunggu di meja.

Memang dulu sempat membicarakan pernikahan juga. Tapi karena sebuah alasan waktu itu, tidak jadi. Dan sekarang tahu-tahu kembali dengan rencana semula, sebuah pernikahan.

Berbahagialah

Saya sering bilang pada orang-orang yang saya ajak bicara ketika ngomongin pernikahan. Ketika kamu tinggal bersama Ayah dan Ibumu, tekanan menikah lebih besar dan sangat tidak terbendung. 

Maka tidak heran, teman-teman seumuran saya sebagian besar sudah menikah. Memiliki buah hati yang dipamerkan di media sosial agar terlihat sangat bahagia.

Si bungsu yang tinggal bersama keluarga inti juga harus merasakan dampaknya tekanan menikah kala umur sudah tepat. Menunggu saudara-saudaranya tanpa kepastian, hanyalah membuang waktu saja.

Apalagi dengan renge'an Ibu yang ingin menimang cucu. Ditambah omongan yang terasa biasa buat orang tua, tapi terasa beban bagi anak-anak yang ingin berbakti. 

Ibumu ini sudah tua, umurnya tidak panjang. Ibu ingin melihat kalian menikah dan menimang cucu tercinta.

Berbahagialah adikku. Maafkan saudaramu ini yang seharusnya tekanan ini ada padaku, harus kamu yang memikul. Menikah adalah keputusan, dan bahagia adalah pilihan.

...

Saya sendiri pun tak munafik untuk memiliki keinginan menikah, setidaknya sekali seumur hidup. Namun entah kenapa semakin ke sini, seleksi wanita yang mau bertahan tidaklah banyak.

Semisal ada pun, itu masih ragu. Menghubungkan dua keluarga itu tidak mudah. Apalagi membangun keluarga sendiri tanpa persiapan yang matang.

Selamat berbahagia adikku, bertahanlah dalam setiap cobaan. Yang membuat pernikahan itu kekal adalah bagaimana menikmati prosesnya dengan tidak lari dari setiap masalah.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Perjalanan Pulang Pergi ke Hotel The Wujil Resort & Conventions

Review Film Tum Bin 2 (2016)