Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Kapan Pelaku Film Mau Mendukung Blogger Film di Daerah?


Sebagai pelaku perfilman, Chelsea menilai masyarakat harus peduli dan aktif mendukung pergerakan film Indonesia yang semakin menunjukan kemajuan. Walau tak didukung penuh oleh pemerintah, kata Chelsea, film Indonesia harus bisa bertahan. "Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama mendukung. Nggak cukup insan perfilman saja, kalau mau maju, seluruh elemen masyarakat juga mendukung memajukan film," urainya.

Kutipan diatas saya ambil dari website gatra.com tanggal 26 November 2015. Pelaku atau insan perfilman selalu meminta dukungan dari masyarakat untuk mendukung mereka. Tapi apakah mereka mendukung masyarakat seperti saya, blogger film atau komunitas film yang ada di daerah?

Saya menulis ini sebagai bentuk kepedulian saja. Saya akan terus mendukung film Indonesia lewat tulisan-tulisan saya (kofindo) di blog dotsemarang. Bukan sekedar review, tapi dari sisi penonton dan animo masyarakat yang menyaksikan.

Saya sedih ketika kantong saya sudah cekak alias habis sedangkan film Indonesia tiap pekan datang silih berganti. Saya iri dengan Jakarta ketika film yang akan segera tayang, mereka menggelar gala premiere. Di sana banyak masyarakat juga dan mungkin blogger serta komunitas. Tentu dapatnya bisa gratis kalau dapat undangan. *payah mikirnya ini*

Bagaimana dengan diluar Jakarta atau yang ada di daerah. Apakah kita (saya) dituntut untuk selalu mendukung perfilman Indonesia dengan membeli tiket. Plusnya, saya akan mereview. Sudah lebih dari beberapa tahun saya menjadikan kofindo sebagai wadah untuk film Indonesia.

Komunitas? Tidak ada lagi. Mengajak komunitas film Semarang, selalu alasan berat diongkos dan juga film yang kurang menarik akan jadi periode untuk tetap idealis. Kecuali, film hollywood yang menjadi bahan pertimbangan.

Kapan pelaku film mendukung blogger atau komunitas film di daerah? Mereka masyarakat juga. Mereka harus terus mengeluarin duit untuk pergi ke bioskop. Bagaimana cara mencintai film Indonesia ketika mereka kehabisan duit? Apalagi filmnya kadang kurang menarik.

Kita (saya) terus distimulasi untuk tetap berkarya dan tidak pantang menyerah. selalu ada cara lain. Tapi bagaimana bila semua cara sudah terlalu lelah dilakukan dan tidak menghasilkan.

Paling yang menyenangkan adalah saat para pemain film datang menyapa penonton dan masyarakat di daerah. Mungkin hanya itu kebanggaan dari mereka meski hanya dapat foto bareng atau bersalaman tapi pada akhirnya juga harus bayar.


...

Ketika ada kerumunan atau komunitas, pelaku film akan datang kesana untuk menawarkan diri meski ujungnya promosi. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang tidak berkomunitas? Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk duduk sendiri di bioskop menyaksikan film Indonesia.

Keyakinan mereka hanya ingin mendukung film Indonesia dan lewat tulisan (review) di blog, berharap film Indonesia dikerubungi penonton yang saat ini didominasi kaum remaja.

Mereka mendukung, tapi mereka bukan pemeran pendukung. Mereka melakukan tapi mereka tidak diperlakukan. Mereka kecewa dicuekin, tidak. Mereka bahagia. Hanya jika boleh bilang, Andai bukan masyarakat saja yang dituntut mendukung film. Pelaku film pun harus mendukung mereka untuk bersama-sama memajukan dunia film Indonesia.

Sumber original Gatra klik disini

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Kalo ke bioskop gratis berarti nggak mendukung perfilman indonesia dong :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu ini kok lucu sih haha...
      mikir kok pendek banget

      ada2 saja

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh