Gambar ilustrasi : Google
Pada waktu SMP dulu saya adalah siswa yang tercatat di sekolah sepakbola Pusam atau Putra Samarinda sebelum pada akhirnya nama ini sudah asing ditelinga. Saking cintanya pada sepakbola, saya memiliki mimpi menjadi pemain sepakbola profesional di negeri ini, kalau perlu di level teratas yakni Eropa.
Ah, mimpi bocah ingusan yang berpikir pendek pada waktu itu. Meski begitu, karena banyak belajar dari akademi tersebut tentu skill saya terus bertambah. Dan pertama kali merasakan gaji dengan umur yang muda dari usaha sendiri karena sepakbola.
Semangat itu terus bertumbuh hingga pada akhirnya membuang mimpi menjadi pemain profesional setelah lulus SMA. Sudah terlambat sepertinya. Apalagi rasa kurang percaya diri karena bentuk fisik yang kurang ideal menjadi dasar utamanya.
Tahun 2015
Beberapa bulan terakhir ini kabar kurang menyenangkan datang dari sepakbola tanah air. Akibat buntut kisruh pemerintah melalui Kemenpora dengan PSSI, berita-berita negatif tentang dunia pesepakbolaan kita begitu miris untuk dibaca dan didengar.
Mulai dari cerita nasib pesepakbola yang bingung dengan kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya, pemain yang beralih profesi, pemain yang pindah ke luar negeri, hingga babak belur nya timnas U23 karena efek FIFA menjatuhkan sanksi terhadap sepakbola Indonesia.
Cerita ini seperti lembaran yang menakutkan bagi generasi muda yang memiliki mimpi menjadi pemain sepakbola profesional. Memang kita tidak perlu memikirkan soal itu dan membiarkan om-om disana (PSSI dan Kemenpora) yang menyelesaikannya. Tapi ini tentang masa depan pemain yang telah dianggap profesional dan memiliki klub.
Apakah mereka tidak memikirkan masa depannya bila tidak bermain bola? Apakah tidak menabung buat kehidupannya? Mengecek asuransi dirinya atau berinvestasi membangun sekolah sepakbola dan bisnis lainnya? Apa yang mereka pikirkan selama menjadi pemain bola?
Ini takdir atau nasib?
Oh iya mungkin yang salah medianya saja yang menuliskannya untuk mendapat perhatian banyak pihak. Atau inilah takdir pemain sepakbola profesional Indonesia? Yang benar-benar nyata untuk dilihat mata oleh bibit-bibit muda.
Saya malah jadi ingat kata orang tua saya yang sempat menentang dengan keras tentang kesukaan saya terhadap sepakbola. Mau makan apa nantinya? Bola??
Diusia muda mungkin kata-kata itu menyakitkan dan langsung saya serap mentah-mentah tanpa memikirkan makna sebenarnya. Setelah saya menulis ini sekarang, tentu makna sebenarnya ingin melindungi putranya yang memang di negeri ini sepakbola belumlah menjadi yang terbaik untuk dijadikan sebagai profesi.
Lalu, bagaimana dengan para pesepakbola yang belum digaji hingga 2 tahun oleh klub yang berbeda. Mereka yang digaji bukan saja pemain lokal alias Indonesia tapi orang asing pun kena imbasnya. Hingga kabar kurang mengenakkan bagaimana seorang pemain bola asing meninggal di negeri ini.
Inikah nasib pesepakbola kita. Bukankah nasib bisa diubah? Caranya...
...
Saya sejenak berpikir tentang diri saya diusia remaja bagaimana sudut pandang tentang sepakbola waktu itu begitu menyenangkan dan indah. Hingga membuang mimpi-mimpi yang pada lazimnya dikatakan oleh teman sebayanya saat ditanya cita-citanya kelak. Dokter, arsitek, guru dan saya.....seorang yang ingin jadi pemain sepakbola.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Saat dunia pesepakbolaan kita sedang carut marut begini. Apalagi saya terjebak dengan tubuh yang berusia 28 tahun sekarang. Apa yang bisa saya lakukan? Bagaimana nasib mimpi anak-anak seperti saya saat remaja yang menyukai sepakbola?
Inilah takdir sepakbola Indonesia di tahun 2015. Mencemaskan dan tidak mengenakkan. Andai ada yang bisa mengubah nasib dunia sepakbola kita, tentulah saya harus berterimakasih sekali.
Mari menunggu keberanian itu bertumbuh dari mereka yang mengatasnamakan peduli dengan pesepakbolaan tanah air. Mari mengubah nasib buruk ini menjadi lebih baik dan memiliki generasi emas berikutnya.
Yang berhasil pasti bisa jatuh, dan yang terpuruk bisa menjadi diatas (berhasil)
Salam blogger
Komentar
Posting Komentar