Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Belajar Seni Kehidupan Dari Memasak


Waktu itu saya pikir tidak salahnya mengikuti apa yang dikatakan beliau yang mengajarin saya tentang memasak. Toh ini sebentar meski sebagian hati kecil saya menolak. Tapi ini bukan sekedar memasak, saya diajarin sesuatu yang luar biasa. Tentang seni kehidupan yang sudah pernah dilakukan untuk mencapai sukses di usia pria saat ini.

Pria yang sudah memasuki masa pensiun ini tiba-tiba mengajak saya memasak. Wajahnya selalu terlihat serius, meski begitu sisi humorisnya mengalahkan pandangan sinis bagi mereka yang telah mengenalnya. Ah.. saya sering banget dibuat ngakak. Humor cerdas tiap bersama beliau.

Salah satu hobi beliau yang tahun ini berusia 60 tahun adalah memasak. Saya harus jadi korban menemani beliau waktu itu. Mulai dari disuruh mengupas bawang, lombok, kentang, hingga praktek langsung membuat sambel dan makanan lainnya. Pokoknya, saya sudah diajarin langsung dan harus bisa bila suatu hari disuruh.

Dalam aktivitas tersebut, beliau yang tampak serius, sesekali menceritakan masa mudanya. Semua yang didapat sekarang, keluarga, jabatan, kebanggaan dan koneksi adalah buah dari kerja kerasnya selama hidup.

Beliau sudah pernah mengunjungi beberapa negara, Eropa, Amerika dan bahkan Asia. Saya mendengarnya menjadi iri, kapan saya bisa mendapatkan momentum tersebut.

Tapi yang membuat saya tertegun adalah bagaimana ia membangun semua itu dari bawah. Beliau pernah bekerja sebagai tukang cuci piring, tarik angkot, dan semua yang berhubungan dengan pekerjaan kelas rendah sebagai pria di masa muda. Saya, mungkin yang bisa saya ceritakan kelak kepada anak saya adalah menjadi pria baik saja.

Kini, beliau menikmati masa pensiunannya dengan lebih baik. Anak-anak yang bertumbuh besar dan tinggal menunggu waktu saja mereka berhasil. Sudah punya cucu, dan sukses sebagai pria yang punya segalanya.

...

Mungkin saya bukanlah orang yang pertama diceritakan soal kehidupan beliau. Saya pikir begitu, mengingat beliau orang yang pandai menarik simpati dan menjadi teladan banyak orang seperti saya.

Saya jadi iri tidak menjadi anaknya. Tapi saya juga kadang marah, kenapa seseorang yang telah menjadi pria kadang tidak ingin anaknya merasakan derita seperti apa yang dialaminya. Padahal itu pembentukan karakter untuk masa depannya.

Lepas dari itu, saya sangat bangga menjadi pria yang menemani beliau memasak. Kelak saya jadi ayah juga, saya akan bercerita tentang kehidupan saya dimasa muda dari bawah hingga di atas. Dorongan motivasi, pembelajaran dan apa yang bisa dipetik sudah seharusnya menjadi landasan anak-anak untuk melihat masa depannya kelak.

Tidak mengekang dan melarang, tapi mencoba membiarkan kehidupan yang mengajarkan. Ayah, cuma berperan mengarahkan mana yang terbaik buat anak-anaknya.

Terima kasih untuk seni kehidupannya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh