Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Belajar Seni Kehidupan Dari Memasak


Waktu itu saya pikir tidak salahnya mengikuti apa yang dikatakan beliau yang mengajarin saya tentang memasak. Toh ini sebentar meski sebagian hati kecil saya menolak. Tapi ini bukan sekedar memasak, saya diajarin sesuatu yang luar biasa. Tentang seni kehidupan yang sudah pernah dilakukan untuk mencapai sukses di usia pria saat ini.

Pria yang sudah memasuki masa pensiun ini tiba-tiba mengajak saya memasak. Wajahnya selalu terlihat serius, meski begitu sisi humorisnya mengalahkan pandangan sinis bagi mereka yang telah mengenalnya. Ah.. saya sering banget dibuat ngakak. Humor cerdas tiap bersama beliau.

Salah satu hobi beliau yang tahun ini berusia 60 tahun adalah memasak. Saya harus jadi korban menemani beliau waktu itu. Mulai dari disuruh mengupas bawang, lombok, kentang, hingga praktek langsung membuat sambel dan makanan lainnya. Pokoknya, saya sudah diajarin langsung dan harus bisa bila suatu hari disuruh.

Dalam aktivitas tersebut, beliau yang tampak serius, sesekali menceritakan masa mudanya. Semua yang didapat sekarang, keluarga, jabatan, kebanggaan dan koneksi adalah buah dari kerja kerasnya selama hidup.

Beliau sudah pernah mengunjungi beberapa negara, Eropa, Amerika dan bahkan Asia. Saya mendengarnya menjadi iri, kapan saya bisa mendapatkan momentum tersebut.

Tapi yang membuat saya tertegun adalah bagaimana ia membangun semua itu dari bawah. Beliau pernah bekerja sebagai tukang cuci piring, tarik angkot, dan semua yang berhubungan dengan pekerjaan kelas rendah sebagai pria di masa muda. Saya, mungkin yang bisa saya ceritakan kelak kepada anak saya adalah menjadi pria baik saja.

Kini, beliau menikmati masa pensiunannya dengan lebih baik. Anak-anak yang bertumbuh besar dan tinggal menunggu waktu saja mereka berhasil. Sudah punya cucu, dan sukses sebagai pria yang punya segalanya.

...

Mungkin saya bukanlah orang yang pertama diceritakan soal kehidupan beliau. Saya pikir begitu, mengingat beliau orang yang pandai menarik simpati dan menjadi teladan banyak orang seperti saya.

Saya jadi iri tidak menjadi anaknya. Tapi saya juga kadang marah, kenapa seseorang yang telah menjadi pria kadang tidak ingin anaknya merasakan derita seperti apa yang dialaminya. Padahal itu pembentukan karakter untuk masa depannya.

Lepas dari itu, saya sangat bangga menjadi pria yang menemani beliau memasak. Kelak saya jadi ayah juga, saya akan bercerita tentang kehidupan saya dimasa muda dari bawah hingga di atas. Dorongan motivasi, pembelajaran dan apa yang bisa dipetik sudah seharusnya menjadi landasan anak-anak untuk melihat masa depannya kelak.

Tidak mengekang dan melarang, tapi mencoba membiarkan kehidupan yang mengajarkan. Ayah, cuma berperan mengarahkan mana yang terbaik buat anak-anaknya.

Terima kasih untuk seni kehidupannya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun

Perjalanan Pulang Pergi ke Hotel The Wujil Resort & Conventions