Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat. Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Semarang Semakin Macet?
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
[Artikel 16#, kategori Semarang] Rasanya tidak benar mengatakan ini bila mundur beberapa tahun kebelakang. Namun kenyataannya, saya sendiri merasakannya. Terjebak arus lambat saat pulang ke rumah dengan membawa kendaraan roda 4. Padahal kalau bisa memilih, saya akan dengan senang hati bersepeda yang sudah saya lakuin 2-3 tahun belakangan di Semarang.
Awal tahun 2017, jalan-jalan di kota Semarang mulai diberlakukan jalan satu arah. Alasannya tentu untuk meminimalisir kepadatan kendaraan yang tiap tahun selalu bertambah. Sempat saya berpikir bahwa kampanye 'Ayo Wisata ke Semarang' yang sering saya tulis di blog adalah cikal bakal kota yang terkenal dengan Lunpia ini semakin ramai. Mungkin salah saya kalau begitu, orang-orang pada terus datang ke Semarang.
Jumat sore, 3 Maret 2017, saya baru selesai mengantar keluarga dari Bandara Ahmad Yani. Karena beberapa jalan dibuat 1 arah, saya cari alternatif jalanan yang lebih cepat sampai ke rumah. Jalanan meski padat, namun tetap lancar dan nyaman.
Lalu akhirnya saya tiba di jalan RA.Kartini. Saya putuskan untuk mengambil jalan tembusan lewat jalan Halmahera. Dan sampai sana, perjalanan saya akhirnya terhambat. Saya yang sudah malas membawa kendaraan roda 4 dengan kopling, rasanya sangat kesal dengan alur yang lambat ini. Padahal sangat dekat.
Saya membayangkan bila naik sepeda, maka saya tak akan lama seperti ini. Beberapa minggu lalu, saya mengatakan dalam diri saya sendiri tentang kemacetan yang terjadi di Semarang waktu itu, mungkin masih dalam tahap penyesuaian karena jalannya diubah 1 arah.
Pada waktu mengatakan itu, saya memang tak pernah menyentuh kendaraan. Baru kali ini saja saya harus membawa kendaraan untuk mengantar, dan saya pun merasakan juga akhirnya.
Beberapa hari kemudian, saat saya bersama keluarga saya namun hanya sebagai penumpang, jalanan macet cuma dari arah Simpang Lima ke rumah kita. Kalau sebaliknya nggak, katanya. Saya yang jarang membawa kendaraan tentu saja hanya mengamini, mengingat kemana-mana saya hanya bersepeda.
...
Meski hanya sekali merasakan macet parah karena membawa kendaraan roda empat, setidaknya saya sedikit memahami orang-orang yang membawa kendaraan hari ini. Ya, itu sangat melelahkan. Apalagi dengan kopling, kalau kasusnya seperti saya yang lutunya sudah lelah, wah itu gak enak sama sekali.
Namun sangat berbeda ketika saya hanya menggunakan sepeda. Ya, macet itu tidak berpengaruh sangat. Malah saat melewati jalur 1 arah, jalanan seperti milik sendiri saking luasnya.
Tulisan ini bukan untuk mengeluh parah soal kemacetan yang terjadi. Ini hanya cerita saja untuk diketahui beberapa tahun kemudian ketika saya membaca tulisan ini kembali. Kira-kira 2-3 tahun lagi, apakah Semarang semakin macet?
Apakah karena semakin banyaknya blog yang menulis tentang kota ini, makanya semakin banyak orang datang ke Semarang? Saya melihat sisi negatif saya sebagai bloger bila ini terjadi. Ah, bercanda. Bloger tidak akan bisa mempengaruhi seperti itu. Kadang kita hanya berguman pada diri sendiri saja.
[Artikel 17#, kategori Tips] Saya sudah menghitung kira-kira berapa kuota yang dihabiskan untuk menonton siaran langsung sepakbola via streaming. Tentu Anda sekarang bisa mengukur biaya untuk menghabiskan kuota apabila tim kesayangan Anda akan bertanding hari ini.
Istilah pacaran jarak jauh atau LDR sudah banyak kita dengar dan lazim. Saya pun pernah mengalaminya dan akhirnya kandas semua. Tapi kalau pasangan suami istri LDR?
Mungkin saja saya akan terhanyut tanpa kata-kata bila tidak membaca koran beberapa hari kemarin. Mengenal istilah Cinephile saat ini sepertinya membuat saya begitu bodoh dan entah dari mana aja selama ini. Padahal ini bukan baru buat saya. Terlambat sedikit tidak masalah, bukan? Ada yang baru tahu seperti saya ini???
Begini rasanya ketika mertua datang ke rumah, nggak enakan. Padahal, cuma menjenguk cucu kesayangan. Tapi rasa malas yang biasa dirasakan sebelum nikah, berubah rasa risih. Serba salah, pokoknya.
[ Artikel 9#, kategori Dibalik Layar ] Ternyata Bus Trans Jateng baru beroperasi jam 2 siang. Padahal niat awal pergi ke Ungaran akan menggunakan transportasi ini. Sedikit usaha dan pengalaman baru yang pada akhirnya indah juga hasilnya. Kisah sederhana perjalanan saya dimulai Sabtu siang (22/8/2020) dengan berjalan kaki dari rumah menuju halte Trans Semarang yang berjarak kurang lebih 1 km. Ya, tidak ada pilihan untuk mengeluh. Lebih dari 15 menit saya menunggu bus setelah saya duduk di halte. Saya lebih menyukai berbagi aktivitas di stories Instagram ketimbang Twitter karena lebih sederhana dan mudah. Sambil menunggu di tengah hiruk pikuk kendaraan yang lewat di depan, saya tetap mengabarin dia. Saya sangat butuh perhatian dia, sekaligus teman perjalanan dan tidak membuatnya khawatir. Bus yang membawa saya dari jalan Majapahit dan sudah berhenti beberapa kali di halte, akhirnya menurunkan saya untuk pindah bus. Sekitar 23 menit perjalanan yang saya catat lewat stories. Saat bert...
Komentar
Posting Komentar