Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Dampak Corona, Penghasilan Anjlok


[Artikel 105#, kategori blogger] Ketika membaca berita tentang Ojol yang mengalami pendapatannya anjlok, saya membayangkan diri sendiri yang juga terikut kena imbasnya karena Corona. Tidak ada kegiatan, liputan dan terpaksa terus menghemat apa yang dimakan hari ini.

Menjadi pemilik blog, sekaligus yang mengurusinnya sendiri tanpa bertabur iklan di halamannya, bulan Maret hingga pertengahan April ini sangat berat rasanya.

Punya uang, hanya dapat memikirkan kebutuhan sekarang. Esok dan akan datang, tidak tahu lagi bagaimana untuk berkembang.

Wabah Corona

Kita semua sedang merasakan kondisi yang sulit, bunyi pesan WhatsApp sebelum mengakhiri percakapan dari pemasar hotel yang menawarkan paket terbaru kulinernya.

Andai si pemasar tahu bahwa saya bukan target konsumennya, tentu tidak menambah harapan bahwa saya bisa mengisi pundi-pundi rupiah di dompet saya. Saya berharap, ia bekerja sama dengan dotsemarang. Tapi itu tentu tidak mungkin.

Obrolan saya berakhir tanpa centang biru yang menandakan mungkin dia kesal, meski ia sedang online. Saya malah ingat beberapa waktu lalu sebelumnya juga. Dengan pemasar hotel tapi berbeda lokasi hotelnya.

Saat menyinggung gaji dan pendapatan saya yang nihil karena Corona, saya malah dibercandain bahwa gajinya tidak cukup juga karena ia harus bekerja di rumah saat itu dan punya keluarga. Apalagi gajinya dipotong.

Lalu ia menyebut saya bahwa lebih enak dirimu meski tidak ada uang pun, kamu masih jomblo. Tidak masalah tentunya. Di sana saya ingin mengirimkan emoticon kesel, tapi menyudahi obrolan lebih penting saat itu.

Entah kenapa, pekerjaan yang saya yakini masih dianggap sepele dan membawa status saya yang dianggapnya masih jomblo.

Padahal saya butuh koneksi internet tiap bulan, makan setiap hari, beli makan kucing, dan lain sebagainya. Dan semuanya itu didapatkan dari penghasilan yang tidak tetap. Tanpa gaji bulanan.

Dan wabah Corona, membuat penghasilan saya berada di ujung tanduk. Benar-benar tidak tahu lagi harus gimana? Tabungan? Andai pendapatan saya tetap dan rutin, mungkin saya bisa melakukannya.

...

Termasuk pemandu wisata di Sidoarjo dan mungkin di kota lainnya yang mendadak jadi pengangguran karena tidak ada kunjungan wisatawan. Dampak Corona sangat luar biasa.

Saya adalah salah satu orang yang kena dampaknya juga karena mengandalkan blog untuk pekerjaan. Dan bukan berarti saya menulis ini seperti orang paling susah di negeri ini. 

Ini adalah bagian perjalanan saya yang ingin saya tuliskan di momen Corona ketika dunia mencatatnya dalam sejarah kelak. 

Saya bingung menyebut saya bloger saat ini. Karena tidak semua sebutan bloger juga merasakan akibatnya seperti saya. Apalagi yang bisa mendapatkan penghasilan dari online maupun iklan hingga buzzing.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh