Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Bagaimana Rasanya Menjadi Ayah?


[Ini adalah artikel ke-6 kategori rumah tangga] Tempat permainan di mal sekarang semakin menarik dan menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu muda yang membawa anak-anak mereka. Beruntung buat pria seperti saya yang bisa melihat mereka tanpa didampingi suami masing-masing. Hari ini saya belajar bagaimana rasanya menjadi Ayah.

Agenda hari ini menemani ibunya si Difa pergi ke mal bersama putri kesayangan. Untuk urusan menemani ibu-ibu, kadang fisik saya selalu kalah meski pernah menjadi pemain sepakbola amatir. Apalagi dibawa ke mal, beh....

Menjadi ayah

Saya sedang berada di tempat permainan anak-anak di salah satu mal terbesar yang ada di Semarang. Saya disuruh menemani si Adek, begitu saya memanggilnya. Di sini, banyak keluarga namun kebanyakan mamah muda yang menemani anak-anaknya.

Ada sih Ayahnya, tapi tidak banyak. Malah ada yang ketiduran di motor yang digunakan untuk bermain game. Ada-ada saja. Mungkin tidak mudah menjadi ayah, apalagi meluangkan waktu seharian penuh.


Tiba-tiba, saya mendapatkan ide membuat postingan ini yang saya tulis di smartphone sebelumnya. Bagaimana rasanya menjadi Ayah?

Lebih dari 2 jam saya menemani si Adek. Awalnya sih baik-baik saja, tapi semakin lama semakin rewel dan lari ke sana-sini. Saya coba untuk tetap tersenyum dan tidak khawatir berlebihan. Ibu-ibu muda yang cakep-cakep ini sangat sayang dilewatkan dengan wajah suram saya.

Apa yang saya rasakan? Tidak mudah, dan lebih banyak sabar. Untunglah ini anak perempuan. Gimana kalau anak laki-laki. Seorang ibu memang lebih baik ngurusin anak-anak ketimbang pria.

Butuh waktu, belajar dari pengalaman dan melihat langsung ayah-ayah hebat yang sudah mengerti. Saya pikir, saya butuh referensi ayah yang nulis blog dan menceritakan cara mengasuh anaknya. Itu penting deh.

...

Entahlah, apa yang saya pikirkan waktu menulis ini sambil menemani si Adek. Saya paling tidak suka saat beraktivitas, kepala saya memproduksi ide. Dan bodohnya, akal pikiran menuruti kata hati untuk menuliskannya. Katanya biar tidak hilang.

Pengalaman ini tidak seberapa dan butuh jam terbang. Namun bila diukur dengan waktu menemani si Adek hari ini, menjadi ayah itu lumayan berat juga. Apalagi tidak ada wanita menemani sebagai ibunya. Mungkin ini alasan mengapa pekerjaan baby siter masih banyak yang menggunakan.

Semoga para Ayah tetap semangat!

*Bagaimana rasanya menjadi anak pria?

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya