Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Bagaimana Rasanya Menjadi Ayah?


[Ini adalah artikel ke-6 kategori rumah tangga] Tempat permainan di mal sekarang semakin menarik dan menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu muda yang membawa anak-anak mereka. Beruntung buat pria seperti saya yang bisa melihat mereka tanpa didampingi suami masing-masing. Hari ini saya belajar bagaimana rasanya menjadi Ayah.

Agenda hari ini menemani ibunya si Difa pergi ke mal bersama putri kesayangan. Untuk urusan menemani ibu-ibu, kadang fisik saya selalu kalah meski pernah menjadi pemain sepakbola amatir. Apalagi dibawa ke mal, beh....

Menjadi ayah

Saya sedang berada di tempat permainan anak-anak di salah satu mal terbesar yang ada di Semarang. Saya disuruh menemani si Adek, begitu saya memanggilnya. Di sini, banyak keluarga namun kebanyakan mamah muda yang menemani anak-anaknya.

Ada sih Ayahnya, tapi tidak banyak. Malah ada yang ketiduran di motor yang digunakan untuk bermain game. Ada-ada saja. Mungkin tidak mudah menjadi ayah, apalagi meluangkan waktu seharian penuh.


Tiba-tiba, saya mendapatkan ide membuat postingan ini yang saya tulis di smartphone sebelumnya. Bagaimana rasanya menjadi Ayah?

Lebih dari 2 jam saya menemani si Adek. Awalnya sih baik-baik saja, tapi semakin lama semakin rewel dan lari ke sana-sini. Saya coba untuk tetap tersenyum dan tidak khawatir berlebihan. Ibu-ibu muda yang cakep-cakep ini sangat sayang dilewatkan dengan wajah suram saya.

Apa yang saya rasakan? Tidak mudah, dan lebih banyak sabar. Untunglah ini anak perempuan. Gimana kalau anak laki-laki. Seorang ibu memang lebih baik ngurusin anak-anak ketimbang pria.

Butuh waktu, belajar dari pengalaman dan melihat langsung ayah-ayah hebat yang sudah mengerti. Saya pikir, saya butuh referensi ayah yang nulis blog dan menceritakan cara mengasuh anaknya. Itu penting deh.

...

Entahlah, apa yang saya pikirkan waktu menulis ini sambil menemani si Adek. Saya paling tidak suka saat beraktivitas, kepala saya memproduksi ide. Dan bodohnya, akal pikiran menuruti kata hati untuk menuliskannya. Katanya biar tidak hilang.

Pengalaman ini tidak seberapa dan butuh jam terbang. Namun bila diukur dengan waktu menemani si Adek hari ini, menjadi ayah itu lumayan berat juga. Apalagi tidak ada wanita menemani sebagai ibunya. Mungkin ini alasan mengapa pekerjaan baby siter masih banyak yang menggunakan.

Semoga para Ayah tetap semangat!

*Bagaimana rasanya menjadi anak pria?

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh