Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Nonton Film Indonesia di Bioskop Paling Enak Itu Dibayarin


[Ini adalah artikel kesebelas kategori Kofindo] Tapi maaf, saya jarang dibayarin. Semua berasal dari kantong sendiri. Kadang nggak nonton pas nggak punya duit juga, meski film yang diputar sedang bagus-bagusnya. Beberapa tahun terakhir, kebanyakan dari uang pribadi.


Saya menjawab pertanyaan yang menggelikan beberapa waktu lalu bahwa sebagai blogger terkadang menyenangkan nonton gratisan. Padahal tidak ada yang bayarin. Semisal ada pun, saya lewat Kofindo pasti ngajak yang nonton bareng dengan catatan gratis..tis..tis.

Awal kofindo pernah

Kofindo dibuat dulunya sebagai bentuk rasa peduli saya dan yang lain terhadap perkembangan film Indonesia, terutama di bioskop Semarang atau yang berada di Mal Ciputra.

Waktu itu film Indonesia kondisinya tidak sekeren sekarang. Bisa ditebak jumlah yang menonton dan film hantu yang beredar dengan mengumbar keseksian.

Perjalanan Kofindo yang sering ngadain nobar ternyata terdengar beberapa pihak film. Dan masa-masa itu, Kofindo sering keciptratan rejeki untuk mengajak nobar yang tiketnya dibayarin langsung oleh pihak film atau dikirimin uang buat beli tiket di bioskop. Cerita yang indah waktu itu rasanya.

Tidak gratis, maaf sibuk

Orang-orang yang saya ajak nobar tentu suka sekali meski dalam hati kadang menggerutu kurang kak tiketnya. Nonton film Indonesia di bioskop paling enak itu dibayarin, saya setuju.

Namun seiring waktu berjalan, saat semua mulai belajar memanage media sosial dengan baik, tidak ada lagi gratisan. Pihak film mungkin sadar bahwa itu tidak akan efektif karena hanya akan membuang-buang duit mereka.

Saya masih terus berusaha mengajak teman-teman pergi ke bioskop. Karena sudah jarang memberi tiket gratisan, umpan-umpan yang diberikan lewat tuitan twitter Kofindo sudah jarang ditangkap. Saya sadar, kofindo sepertinya sudah tak perlu eksis lagi.

Dibeberapa kesempatan, saya banyak ketemu orang yang masih sebenarnya menyempatkan nonton ke bioskop. Tapi mereka memang memiliki kepentingan juga seperti blogger film, pengumpul tiket atau yang beberapa waktu belakangan awak jurnalis terlihat menonton juga.

Peduli itu masa dibayarin

Saya pernah mendapat komentar menohok dari teman yang sepertinya lebih cerdas dari saya. Waktu itu saya menulis tentang pihak film yang seharusnya peduli pada pengulas film atau blogger yang ada di daerah. Itu artinya minta gratis.

Teman saya itu tanpa sadar langsung berkomentar seperti menusuk pedang dari depan tanpa banyak omong. Pedih, sedih dan langsung diam.

Saya yakin ia pasti bahagia waktu itu. Padahal banyak blogger yang ingin mencoba konsisten dan peduli terhadap perkembangan film Indonesia, lewat tulisannya, ingin sekali berkata bahwa ayo pergi ke bioskop.

Mereka mereview dari sudut pandang yang baik hingga yang buruk, meski saya yakin yang nulis buruk adalah kritikus karena mereka lebih berbobot dan berpengalaman.

Menjaga konsisten itu tidak mudah, terutama membayar tiket tiap film baru diputar. Apalagi 1 film, belum film yang lain yang juga tayang bersamaan. Kalau orang kaya sih nggak masalah, tapi kalau blogger yang mengharapkan bertahan hanya lewat tulisan, saya harap teman saya itu tidak sembarangan lagi bicara.

Ini bukan soal dibayarin lalu dianggap peduli. Ini anggap saja butuh bensin saat menggunakan sepeda motor, bagaimana bisa jalan kalau nggak ada bensinnya. Belum lagi, persoalan tiap kota berbeda dengan kota lain. Di Semarang, saya sangat sulit bekerja sama dengan pihak bioskop. 

Saya bahkan pernah hampir gagal membeli tiket dikarenakan saya dianggap calo. Kebanyakan beli tiket film. Mereka sangat takut dengan masalah sekecil apapun yang bisa-bisa menentukan nasib pekerjaan mereka.

Jadi mohon dilihat dulu keadaannya, mungkin lebih bagus memberi solusi dengan membelikan tiket bioskop buat para blogger tersebut.

...

Sekian panjang tulisan saya di atas, saya hanya akan bilang bahwa menonton film Indonesia tidak mesti dibayarin. Kalau saya tiba-tiba traktir ngajak nobar teman-teman, itu berarti saya diendorse oleh pihak film. Saya tidak akan pelit.

Mau nonton film Indonesia bareng saya boleh saja, asal bayar sendiri-sendiri. Kadang saya selalu mengalah saat mengajak kencan wanita. Sayang itu berakhir sia-sia juga. *hehe..

Kofindo selama ini murni menggunakan uang pribadi. Apakah dengan ulasan yang diberikan lewat blog adalah bentuk kepedulian terhadap perkembangan film Indonesia? Pendapat Anda yang menentukan.

Salam

Artikel terkait :

Komentar

  1. nonton gratis memang enak. semua yang gratis itu memang enak haha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh