Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Apakah Kamu tidak Ingin Menikah?

[Artikel 2#, kategori Pria 38 tahun] Tentunya. Saya masih berharap untuk menikah. Bukan saja karena ibadah, tapi juga sebuah impian di mana laki-laki bisa dikatakan sempurna sebagai pria. Di umur segini (38 tahun), menikah adalah mendapatkan teman ngobrol di sisa hidup yang tak kekal. Saya tidak ingin sendirian terus hingga ajal.

Sudah memasuki bulan pertama dalam perjalanan baru ini. Mendadak saja kata menikah muncul begitu saja saat terbangun dari tidur. Entah kenapa saya ingin menaruhnya dalam blog untuk melanjutkan kisah Pria (tidak) berharga.

Kepantesan

Harapan yang belum padam ini tentu bagus dan positif di saat saya baru menyandang umur yang bertambah menjadi 38 tahun sekarang. Karena mungkin sebagian orang-orang ada yang sudah menyerah dengan yang namanya menikah.

Namun keinginan kuat saya terbentur dengan namanya kepantesan. Apakah saya masih pantas menikah di saat serba kekurangan? Jika harapannya mencari pasangan yang muda dan sedang ingin dimanja, maka saya tidak pantas.

Dari sisi pekerjaan, saya belum pantas. Apalagi bicara keuangan. Jangankan uang, rumah dan harta saja masih numpang. Keluarga? Saya tak yakin mereka berharga.

Satu-satunya yang membuat saya berharga rasanya hanya keinginan kuat. Saya adalah pria setia, tapi entah apakah kata setia masih laku atau sebaliknya? Saya pekerja keras? Tidak juga, saya sedang menikmati kemalasan saya di rumah hingga jarang keluar kecuali bermain futsal atau ada liputan.

Saya adalah teman bicara yang akan mendengarkan dan menyenangkan. Apakah boleh kriteria ini dimasukkan dalam proposal melamar? Memang akan hidup bersama hanya terus mengobrol? 

...

Saya tidak tahu lagi apa yang saya akan tulis dari sekian kelebihan dan kekurangan saya ini. Malah rasanya banyak kurangnya ketimbang lebihnya.

Saya percaya Tuhan masih mencarikan kriterianya yang cocok dengan saya meski saya adalah pecundang. Karena itu, saya harap wanita yang datang adalah pembawa harapan yang penting buat saya kelak. Saya akan melakukan apa saja untuknya jika ia mau menikah dengan saya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat