Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Saya Benci Menjadi Penonton di Kota Sendiri


Berilah contoh yang baik, jika menginginkan sesuatu yang baik. Begitu kalimat yang sering kita dengar. Contoh yang baik akan menumbuhkan rasa ingin meniru yang baik pula.

Salam pembuka tersebut saya kutip dari buku tentang personality plus. Saya ingin bilang bahwa menjadi baik itu dambaan semua orang tapi menjadi baik itu juga tidak mudah.

Akhirnya hari ini saya meninggalkan bulan November. Bulan yang penuh menjengkelkan bila harus jujur saya katakan. Bahkan menjelang akhir bulan pun saya tetap dibuat jengkel.

Apa-apaan ini. Sebagai blogger saya gagal di tempat tinggal sendiri. Saya hanya jadi penonton. Tak berbuat apa-apa dan sibuk dengan kegiatan membersihkan rumah atau depan komputer.

Banyak acara yang dilaksanakan di Semarang ternyata peran saya hanya memantau. Beberapa akun yang seliwiran pun saya kenal dan aneh melihat mereka disana tanpa saya seperti biasanya.

Mungkin karena saya tidak lagi berjejaring diantara akun socmed Semarang, makanya akses informasi sangat terbatas. Mengandalkan undangan yang kadang meminta seat untuk mengundang yang lain. Ya, meski akhirnya yang diberi ada yang datang ada yang nggak.

Saya sadar sudah kalah langkah. Ambisi menjadikan blogger sebagai profesi sepertinya masih sulit kalau begini. Jangankan menaklukkan Indonesia, Semarang saja masih cenat-cenut.

Dan paling membuat saya geli adalah hadirnya akun foto sharing yang platformnya instagram nimbrung disana. Lho, dapat potongan kue juga? Padahal kekuatan utamanya ada di platform foto kenapa ke akun burung biru. Ini benar-benar pukulan hit berkali-kali yang seolah mengatakan, kamu tidak ada apa-apanya sekarang. Dotsemarang sudah tua, tolong diam saja.

...

Saya hanya ingin jadi orang baik, itu saja. Cukup! Nyatanya banyak peniru yang baik juga dan kue-kue yang dulu saya nikmati akhirnya terpotong-potong. Saya bukan membenci hanya ini soal ambisi dan tempat curhat saya.

Saya marah. Tapi pada diri sendiri. Kenapa dengan saya ini? Saya kira sudah bekerja keras, nyatanya masih harus lebih keras. Saya benci menjadi penonton di kota sendiri tanpa berbuat apa-apa.

Selamat datang bulan desember, saya berharap moveon dari semua yang terjadi. Saya akan pertimbangkan untuk menjadi orang egois untuk bulan ini. Saya harus menutup akhir tahun dengan sesuatu yang lebih menarik.

Gambar ilustrasi : Taman Cerdas Samarinda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh