[Artikel 16#, kategori Pria 30 Tahun] Ketika saya memutuskan tidak bekerja sebagai pria kebanyakan yang duduk tenang di depan komputer dengan ruangan AC dan menghabiskan uang gajian sebelum akhir bulan, maka semenjak itu saya menjadi pria pekerja keras. Mudah memang mengatakannya, namun melakukannya itu yang sulit. Selain terus menjaga konsistensi, memiliki ambisi sangatlah juga penting menurut saya.
Apa kabar diri saya hari ini? Masih betah bangun dini hari dan menggeluti hobi yang katanya mampu dijadikan sebuah pekerjaan. Kamu memang luar biasa untuk urusan konsistensi dan dedikasi. Tapi bicara realistis, hidup perlu ada biaya juga untuk terus bertahan. Apakah saya masih sanggup?
Pria pekerja keras
1 diantara sekian banyak pria dewasa yang masih single hingga usia 30 tahun, mungkin setuju dengan saya bahwa pria usia ini adalah tipe pria pekerja keras. Asal dengan syarat, punya ambisi kuat dan rasa bangga terhadap hasil yang diperoleh dari keringat sendiri. Apapun latar belakang, mau kaya atau sederhana dan sangat - sangat sederhana. Kalau saya bilang miskin saat ini, tidak juga kalau kita bicara tiap orang punya smartphone yang dipegang.
Saya tidak mengacuhkan pria muda yang juga tipe pekerja keras dan sukses sebelum usia 30 tahun. Saya hanya sedang bicara tentang diri saya sendiri, dan mungkin ada yang mirip-mirip dengan saya.
Banyak alasan untuk mengacu diri agar terus bekerja keras di usia 30. Seperti melihat keberhasilan rekan-rekan dan teman-teman yang sudah bekerja dan bahkan memiliki istri dan anak yang lucu.
Belum lagi, kekhawatiran keluarga yang diawal masuk kuliah sangat bangga dengan putra mereka yang bakal menjadi pajangan dengan bingkai hitam bersama toga dan hiasan-hiasan di dalamnya.
Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang tidak harus disebutkan namun sudah menjadi tatto pribadi yang diketahui hanya si pemiliknya.
Prioritas
Bila menginjak 25 tahun ke atas saya berusaha membuktikan diri kepada dunia tentang apa yang saya lakukan, maka sekarang saya tak perlu membuktikan apa-apa pada dunia.
Yang perlu saya lakukan sekarang adalah membuktikan pada diri sendiri tentang keputusan yang awalnya saya pilih dan bertahan hingga sekarang. Apakah ini bisa terus berjalan atau harus selesai, dan membanting setir seperti yang lain.
Masa depan menjadi pioritas, terutama biaya hidup, membantu keluarga dan merencanakan pernikahan. Tidak mungkin, calon mertua mau menerima menantu yang tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Mau makan apa, anak saya - kalimat yang familiar ditelinga.
Karena prioritas ini, saya sangat bekerja keras meski ini masih sulit. Tidak ada lagi bantuan orang tua yang biasa mengisi dompet saat kering di akhir bulan. Bila ada pun, saya sangat malu untuk menerima bila melihat umur saya sekarang. Saya berharap menemukan takdir saya sebagai pria sukses.
Harapan
Saya jadi ingat seorang ibu yang menceritakan tentang perjuangan suaminya hingga sukses berkeluarga dan membesarkan anak-anaknya tanpa kekurangan sedikit pun. Menjadi kaya adalah hal terbaik untuk membuat sang anak kelak agar tidak ikut menderita seperti kedua orang tuanya. Saya iri rasanya bila bicara keluarga.
Menjadi kaya memang bukan prioritas buat generasi milenial seperti saya. Tapi bila bicara masa depan, keluarga dan anak-anak, itu sangat penting. Seperti kisah yang saya ceritakan sebelumnya. Jangan sampai anak kita akhirnya ikut menderita dan berharap berjuang seperti ayahnya.
Meski cara terbaik mendidik anak adalah dari pengalaman hidup. Tapi lupakan, itu nanti saja.
Saat ini saya berharap ada seorang perempuan yang menemani saya meski saya melihatnya sulit. Dengan hadirnya perempuan, pria punya semangat 4x lipat. Dan bisa membuat cerita menarik ketika nantinya mereka berencana mengucapkan janji hidup bersama.
Bayangkan sisi endding bahagia sebuah film, bagaimana pasangan yang memulai hubungan dari bawah hingga besar dan sukses. Itu hanya film.
Tapi seperti saya sebut tadi, itu sulit. Selain dari diri pria itu sendiri yang ingin membuktikan kepada dirinya tentang kebanggaan yang masih tersisa, wanita-wanita muda yang sudah lulus kuliah lebih memilih membina rumah tangga. Saya melihatnya disekitar saya.
Wanita butuh pria yang siap, terutama materi yang akan tidak membebani dirinya sekedar membeli susu buat si bayi nanti pada saat lahir ke dunia. Jadi ini memang penting menurut saya, pria siap. Siap untuk keluarga, istri, anak-anak dan lingkungan.
Gambar : ilustrasi
...
Ketika pria memasuki usia 30 tahun, ia melepas semua atribut yang dimilikinya dengan alasan mandiri. Ia berusaha keras menjadi pria sebenarnya. Mereka yang meneruskan kejayaan perusahaan keluarganya, tentu lebih terselamatkan ketimbang pria yang memulai dari nol sebelum usia 30 tahun.
Meski begitu, mereka punya kesamaan yaitu sebagai pria pekerja keras. Baik untuk keluarga kecil mereka, perusahaan yang dirintis, hobi yang digeluti sebagai rasa bangga pribadi hingga menjadi pribadi yang berbeda dari kebanyakan. Dan tentu, melihat masa pensiun orang tua mereka dengan senyuman bangga.
Sekali lagi, tulisan ini tidak mewakili semua pria yang berusia 30 tahun. Saya sedang bercermin dan memasukkan sedikit motivasi dan inspirasi kepada kamu yang bertemu dengan pria ini. Mereka akan lebih banyak bekerja ketimbang seperti dulu, pamer diri. Jangan heran bila mereka agak sedikit malu saat bertemu.
*Postingan ini saya masukkan dalam halaman pria 30 tahun yang daftar postingannya bisa kamu lihat di sini. Saya hanya berbagi tentang apa yang saya alami dan ketahui, jadi tolong ambil sisi positifnya saja dan maklumi sisi negatifnya.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar