Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Lapangan Sepakbola Vorvo Samarinda ( Jalan Jend. Soeprapto)



Rumput hijau alami yang sudah terlihat panjang-panjang tersebut mengingatkan saya ke sebuah momen masa lalu. Di sini, dulunya saya pernah bermain sepakbola. Banyak kenangan juga yang tersimpan. Kini keberadaannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya.


Saya melintas pagi ini, tepat tanggal 1 Oktober 2015, di kawasan yang dekat dengan jalan raya ini. Tidak berubah, bisa dibilang tidak ada yang mengelola layaknya sebuah fasilitas sebuah kota yang dapat diandalkan. Soal fungsi, lapangan ini tetap dapat digunakan seperti jaman saya. Jaman masih duduk di bangku Sekolah.

Apa yang mau ceritakan disini? Ingatan saya sepertinya mulai terbatas dengan suasana sekitar saya saat ini yang sedang merajut kata demi kata. Terlintas sekilas dimana saya dibawa ke masa SMA. Waktu itu saya sekolah di SMA 5 Samarinda.

Lapangan ini masih ada juga. Saat lewat sini kemarin sedang digunakan latihan olahraga volly.

Saya ingat wajah seseorang. Fajar, seorang yang suka sekali dengan sepakbola dan memiliki naluri sebagai penjegal lawan kalau nggak salah waktu itu.

Di jaman tersebut, kekuatan mimpi bagi anak Sekolah yang ingin menjadi pemain bola profesional sangat kuat. Tapi mimpi itu telah pergi. Saya tidak memilih mimpi tersebut pada akhirnya. Tidak perlu diceritakan juga kondisi wajah pesepakbolaan tanah air kita saat ini.



Mungkin kenangan dari lapangan ini hanya ini yang saya ingat. Saya berharap lapangan ini menjadi salah satu fasilitas kota Samarinda yang dapat diperindah. Dipergunakan untuk turnamen agar terus ramai dan meningkatkan perekonomian masyarakat yang ada disekitarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh