[
Artikel #9, kategori generasi] Selamat hari Sumpah Pemuda hari ini. Tanggalnya selalu berdekatan dengan hari Bloger Nasional. Semoga saya bisa jadi pemuda yang dapat berkontribusi buat negara atau pun masyarakat, serta lingkungan sekitar. Postingan ini tentang generasi Z, sudah tahu?
Meski saya sudah tahu tentang generasi Z, tapi tak ada satu judul postingan yang saya tulis di blog ini. Bila Anda mengikuti perkembangan blog saya atau membuka label
'Generasi', tak ada satu pun saya membahasnya. Malah lebih banyak generasi saya yang identik dengan sebutan Millenials atau Generasi Y.
Mengapa kita harus mengenal generasi Z?
Di awal ini, saya harus bilang terlebih dahulu bahwa postingan ini merujuk dari website CNN Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2016. Link originalnya ada di bagian akhir postingan ini.
Saya akan mulai dengan sudut pandang dari sisi
film Indonesia di kota Semarang. Film-film Indonesia tahun 2016 meski lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, masih punya masalah pada jumlah penonton film yang tidak populer.
Populer di sini lebih soal promosi, segmentasi umur yang kurang dieksplore hingga para pemain yang kurang dimata penonton khususnya Semarang.
Selama tahun 2016, saya melihat perkembangan film Indonesia yang bisa mendapat ratusan ribu penonton adalah film yang berhasil menaklukkan segmen remaja. Penonton kategori inilah yang dapat membuat film bisa bertahan hingga sepekan biasanya.
Sebagai catatan, banyak film Indonesia yang tak mampu bertahan hingga sepekan karena kekurangan jumlah penonton dalam sehari setelah rilis di bioskop.
Penonton generasi remaja inilah yang ingin saya sebut generasi Z. Tapi harus kita bagi lagi dari segi umur, generasi Z adalah generasi yang lahir pada akhir '90-an hingga 2000-an. Menurut WHO, remaja adalah orang yang berada pada rentang usia 10-19 tahun. Pada rentang usia tersebut, remaja biasanya tengah mencari jati diri.
Dampaknya, bisa dihubungkan dengan film Indonesia. Menyebut generasi ini memang lebih banyak dibicarakan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang marketing atau orang IT, setidaknya Anda yang tidak berada di 2 bidang tersebut dari sekarang mulai tahu tentang generasi Z.
Sifat generasi Z
Menurut Nukman Luthfie, pakar IT, generasi millennial ini lahir ketika internet sudah mulai mewabah. Hal ini membuat generasi Z disebut-sebut sebagai generasi digital.
Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X dan generasi Y, remaja millennial ini memiliki hidup yang 'sangat digital.'
"Generasi lain (X dan Y), sumber informasinya dari televisi, ke-dua dari source engine, baru yang terakhir media sosial. Kalau generasi Z sebaliknya, dari media sosial, televisi, baru search engine. Generasi Z ini tidak baca koran, kurang baca majalah, kurang nonton televisi," ungkap Nukman kepada CNNIndonesia.com.
Generasi ini juga sangat mudah mengadopsi tren yang sedang dibicarakan karena mereka sangat mudah mengakses Internet. Terlebih lagi setelah Facebook dan Twitter, media sosial seperti Instagram dan Snapchat kini kian digandrungi remaja.
Eksistensi remaja di dunia maya sendiri juga beragam. Nukman membaginya dalam dua kategori: Creator dan Conversationalist.
Creator adalah orang yang membuat konten tertentu di blog, situs web, atau pun akun YouTube.
"Mereka punya akun YouTube enggak hanya untuk lihat video. Mereka bisa pamer karya-karya mereka," katanya. Sedangkan, Conversationalist adalah orang yang lebih senang menggunakan Facebook, Path, dan Twitter untuk bercakap-cakap.
"Meski begitu, ada sebagian pengguna yang berkarya, dengan cara kultwit [kuliah Twitter], membuat puisi, membuat tulisan di notes Facebook, itu memang creator. Tapi sebagian besar conversationalist," ujarnya.
Ia kemudian menilai bahwa generasi Z berada di kategori creator, karena saat ini banyak ruang yang bisa digunakan untuk berkreasi, seperti Instagram.
Terlebih lagi, faktor teknologi seperti ponsel pintar, bisa memudahkan generasi Z untuk membuat foto, video dan editing.
"Maka dari itu generasi Z ini enggak lagi ingin jadi pegawai. Mereka cenderung entrepreneur atau self-employee. Banyak hal kreatif yang mereka ciptakan."
Memang, pada kenyataannya saat ini sudah banyak remaja yang kreatif membuat konten sosial medianya menjadi menarik. Entah itu tutorial merias wajah, memasak, membuat prakarya, menampilkan hasil fotografi, atau memamerkan lagu terbaru.
Seluruh konten yang diunggah ke sosial media tersebut, kata Nukman, sama dengan artinya menyebarkan karya ke ruang publik.
"Makanya ada hal yang enggak boleh dilanggar, yaitu etika sosial. Walaupun etika sosial itu bisa diperdebatkan," katanya.
Jika etika tersebut dilanggar, maka konsekuensi pun harus diterima, seperti dicaci dan dikucilkan. Hal lain yang tak boleh dilanggar adalah hukum.
"Bermain sosial media juga harus paham hukum-hukum, seperti undang-undang pornografi dan ITE."
Menanggapi kegemaran remaja yang kerap curhat di sosial media, Nukman berujar, "Saya enggak setuju dengan curhat, karena banyak yang bisa dijadiin konten di media sosial."
"Misalnya, hobi, apa yang kita senangi, apa keahlian kita, apa karya kita," ia menambahkan. "Jadi ngapain curhat-curhat? Media sosial itu bukan buku harian, kecuali kamu membuka ruang diskusi."
Nukman pun menjelaskan ruang diskusi yang ia maksud.
"Misalnya diskusi tentang putus pacar. 'Kalian kalau putus gimana sih?' Bukan yang nangis-nangis gitu. Sesuatu yang privasi jangan dibuang ke publik, jangan disamakan privat dengan publik. Itu sama saja seperti putus lalu teriak-teriak ke orang sekampung," ujarnya.
Selain itu, Nukman juga melihat bahwa remaja sekarang cenderung tidak menyadari bahwa apa yang mereka unggah bukan lagi hal yang bisa dikonsumsi publik.
"Mereka tahunya ini akun sendiri, 'terserah mau apa, kalau enggak suka ya unfollow saja,'" kata Nukman.
Namun, tak semua generasi Z mengumbar kehidupan pribadinya ke ruang publik. Ada pula yang menggunakan media sosial dengan kritis.
"Kita enggak bisa saklek melihat remaja," kata Nukman. Hal itu dikarenakan, pikiran remaja yang memang sangat beragam. Tak hanya mengamati, remaja pun juga berkarya.
"Remaja tak sekadar sebagai follower, tapi juga kreator. Beda dengan remaja sebelumnya."
Untuk mengantisipasi pembuatan konten yang tak pantas, Nukman yang juga memiliki anak seusia remaja, memberikan sejumlah tips.
"Boleh pakai ponsel setelah masuk SMP, boleh punya media sosial setelah umur 13 tahun," katanya. Namun itu tak dilepas begitu aja. Ia tetap mengawasi.
"E-mail saya yang buat, jadi saya tahu password-nya juga. Dia [anak] juga tahu. Jadi kalau dia ubah password, saya juga tahu. Ponsel juga begitu," ujarnya.
....
Buat pemilik brand atau Anda yang bekerja dibidang pemasaran, mengenal generasi ini sangat penting dan menarik. Buat kampanye promosi yang melibatkan generasi ini. Keterlibatan mereka akan membuat target Anda bisa tercapai.
Buat kita yang tidak begitu mengikuti, setidaknya Anda tahu bahwa ada informasi seperti ini yang terjadi saat ini. Apalagi Anda suka menulis blog, Anda dapat mengaitkan hal ini dalam tulisan semisalnya.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar