Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Komitmen Itu Terasa Menakutkan


[Artikel 7#, kategori pria 33 tahun] Itu saat bertemu dengan wanita yang selalu mengatakan ngebet ingin menikah, tapi esoknya minta pisah. Tidak bisakah apa yang diucapkan itu konsisten. Khawatirnya setelah saya berusaha, eh malah ditinggalin seperti yang sudah-sudah.

Saya adalah pria yang tidak mengandalkan kekuatan kedua orang tua, khususnya hal finansial. Semua saya sendiri yang memikirkan, termasuk bagaimana ekonomi masa depan saya. Dan saya tidak datang dari keluarga yang kaya raya.

Menjadi bloger sebagai profesi adalah tantangan. Satu sisi diandalkan karena datang dengan kesenangan dan kenyamanan untuk berbuat apa yang kita bayangkan, sisi lainnya harus memikirkan bagaimana ini menjadi anugerah di masa depan bersama pasangan.

Di umur hari ini (33 tahun), saya dihadapkan dengan sebuah komitmen. Sama seperti tahun lalu ketika 'menikah' begitu mudah dan ngebet diucapkan wanita kepada saya. Saya ingin sekali menikah dengannya. Tapi entahlah, komitmen begitu menakutkan hari ini.

Apakah karena wanita yang berbicara menikah hanya menguji saja? Bila saya lolos ujian, saya berhak bersamanya dan menjadi pasangannya. Sebaliknya, ketika gagal ujian, saya hanya perlu ditinggalkan. Tidak peduli kata cinta dan seribu pelukan mesra yang kami lakukan. Anggap saja kami tidak berjodoh.

Banyak hal yang saya pikirkan saat sekarang. Ketika diajak berkomitmen untuk menikah, saya ingin sekali fokus padanya. Berusaha yang terbaik, dan berteman dengan masalah agar dapat solusinya.

Namun, saya sedikit cemas ketika komitmen itu hanyalah ucapan saja. Air mata yang menetes hari ini dengan bibir berat mengucapkan betapa inginnya menikah, hanya hitungan hari, mendadak berubah. Saya takut ditinggalkan jika begini.

Perjalanan masih panjang, selesaikan dulu tujuan awal datang. Berikan kekuatan, untuk saling mendukung satu sama lain. Bukan perasaan menggebu-gebu yang terkadang hilang karena tidak sanggup menahan.

*Saya ingin bersamanya, tapi konsistenlah. Jangan tiba-tiba pergi begitu saja.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya